Jumat, 09 Mei 2014

Meluapnya Sungai Cimanuk 1

     Desa Jimpret, kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, di musim kemarau tahun 1959. Siang itu desa tampak lengang, tak ada kegiatan penduduk. Rumah-rumah tampak sepi. Yang terlihat hanya beberapa ekor ayam yang berkeliaran mengais-ngais tanah mencari binatang kecil yang bersembunyi didalamnya. Hmmm..., pada musim paceklik ini biasanya para penduduk suka ngurung* mencari pekerjaan sekedar untuk mencari sesuap nasi.  Kebanyakan mereka suka ke daerah pegunungan, atau ke desa pesisir untuk mencari ikan. 

     Dari ujung desa tampak sesosok lelaki tua memasuki desa tersebut. Tubuhnya kurus, dengan kulit coklat kehitaman. Berbaju hitam, celana komprang hitam. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam campur putih uban, tersembul dibelakang kain iket wulung penutup kepala khas jawa. Matanya cekung, dengan biji mata seperti mau keluar. Pandangan matanya tajam. Dia tak beralas kaki. Usianya diperkirakan sekitar 75 tahun, atau lebih. Namun begitu, otot-ototnya tampak masih kekar, terlihat dari setiap langkah kakinya yang masih tegap.  

     Namun langkah lelaki tua itu terhenti, ketika dia melihat seorang anak kecil sedang asyik sendirian merakit mainan dari ranting daun nangka dan lidi. Usia anak itu sekitar 9 tahun. Anak kecil itu tak sadar kalau dia sedang diperhatikan.

"Siapa namamu, nang*?" tanya lelaki tua itu.

     Anak kecil itu kaget. Segera ia menoleh sumber suara. Dilihatnya seorang lelaki tua sedang berdiri di belakangnya. Ia memperhatikan lelaki tua itu, dari atas sampe ke bawah. Kulit lelaki itu kumal, seperti jarang mandi. Kakinya pun tampak berdaki tebal, seolah habis menempuh perjalanan jauh.

     "He, apa kamu budek? Namamu siapa?" tanya orang tua itu mengulangi.

     "Carmin," jawab anak kecil itu, sambil menyeka ingus yang keluar dari hidung dengan lengannya, kemudian diperetkan di celana kolornya yang dekil.

     "Nama desa ini apa, ya?"

     "Jimpret."

     "Oohh... berarti sebentar lagi aku sampe ke Jatibarang."

     Lelaki tua itu duduk dibawah pohon nangka. Ia mencopot kain iket kepalanya untuk menyeka keringat di wajahnya, kemudian dipake lagi. Ia menyandarkan tubuhnya di batang pohon. Ia memejamkan matanya. Hembusan angin yang sepoi-sepoi dari sawah cukup untuk mengeringkan keringatnya.  Sedang Carmin tetap asyik nerusin pekerjaannya.

     Belum lama lelaki tua itu memejamkan mata, tiba-tiba dari arah timur muncullah 5 orang lelaki dengan masing-masing membawa barang di pundaknya. Malah seorang lagi menarik-narik seekor kambing. Mereka berjalan sambil tertawa terbahak-bahak. Lelaki tua itu terkejut. Dia merasa hafal dengan suara gelak tawa itu.

     "He.... rupanya aku mendengar suara gerombolan Sadiwan. Lagi-lagi mereka... pasti mereka habis merampok lagi," pikir lelaki tua itu. Lelaki tua itu segera berdiri kemudian menatap segerombolan pendatang itu.

     Melihat seorang lelaki yang amat dikenalnya, gerombolan Sadiwan kaget. Sadiwan, sang pemimpin gerombolan perampok itu amat terkenal di wilayah Indramayu, Subang, Karawang dan Majalengka, karena wilayah itu adalah wilayah operasi mereka. Mereka adalah kawanan perampok kawakan. Jika sedang merampok, mereka tak segan-segan membunuh korbannya. Biasanya yang mereka incar adalah para saudagar kaya, atau para pedagang keturunan Cina. Sadiwan sang pemimpin gerombolan itu bertubuh kurus kecil. Tapi jangan disangka.... dia adalah murid terbaik kiyai Munaji dari pengguron Tapak Macan, desa Tugu kecamatan Sliyeg, Indramayu. Hanya saja, karena salah pergaulan dia menjadi perampok. 

     "He.... Ki Marta.... rupanya kita ketemu lagi disini...," sapa Sadiwan.

     "Hadeehh... kamu lagi... kamu lagi.... Habis merampok dimana kau, kerempeng?" sahut lelaki tua yang dipanggil Ki Marta itu.

     "Bukan urusan sampeyan*....!! Sebaiknya biarkan kami lewat, jangan kau ganggu...!!"

   "Mau lewat sih lewat saja, apa pedulimu? Aku juga sudah bosan berurusan denganmu..." ketus Ki Marta. "Ku lihat kamu membawa makanan. Setidaknya sekali-kali kamu mesti beramal... beri saya makanan yang kamu bawa itu. Hehehehehe...."

     Karmin, anak buah Sadiwan bertubuh genpal yang sedang membawa setundun pisang memberikan bawaannya pada Ki Marta.

     "Nih, makan tuh pisang...." sahut Karmin agak ketakutan. Memang, gerombolan Sadiwan adalah gerombolan perampok yang cukup bengis. Tapi dihadapan Ki Marta mereka amat ciut nyalinya. Mereka tahu kesaktian ilmu Ki Marta. Mereka pernah dibuat kucar-kacir. Walaupun Sadiwan murid terbaik kiyai Munaji, tapi kesaktian Sadiwan jauh dibawah kesaktian Ki Marta.

     "Hehehehe.... baguuss... kebeneran dari pagi aku belum makan. Dan aku tak perlu berterima kasih padamu, karena pisang ini adalah pisang hasil curian... hehehehe..."

     "Terserah padamu. Kami mau pulang. Biarkan kami pulang...."

     "Kloyong*..."

     Akhirnya gerombolan itu pergi meneruskan perjalanannya. Sebenarnya tak ada yang tahu dimana markas gerombolan itu. Mereka suka berpindah-pindah, untuk menghindari kejaran petugas. Bahkan sang guru pun, kiyai Munaji tak tahu. Kabarnya, Sadiwan mempunyai banyak istri yang tersebar di berbagai desa. 

     "He, Carmin... kamu lapar tidak?" tanya Ki Marta pada Carmin.

     "Ya...." sahut Carmin sambil menggaruk-garuk kepalanya. Matanya tampak berbinar-binar melihat setundun pisang di depan kepalanya.

     "Hehehehehe... ini ada pisang. Kita makan bersama, yuk..."

     Akhirnya mereka makan pisang pemberian gerombolan Sadiwan cs. Ki Marta hanya memakan 2 buah pisang saja. Selebihnya pisang itu dia berikan pada Carmin.

     "He, Carmin.... bawa pulang saja sisa pisang ini. Aku sudah kenyang. Aku mau meneruskan perjalanan ke Jatibarang."

     Akhirnya Ki Marta meneruskan perjalanannya ke Jatibarang. Ia tidak memperdulikan Carmin yang kebingungan. Carmin sebenarnya ingin membawa pulang pisang itu, tapi tubuhnya yang kecil tidak kuat untuk mengangkat pisang satu tundun itu.

     3 jam kemudian Ki Marta  sudah sampai di Jatibarang. Ia mengunjungi salah seorang temannya, kiyai Musthofa. Sebenarnya kiyai Musthofa bukan penduduk asli Jatibarang. Ia berasal dari Ciwaringin, Cirebon. Ia tinggal di Jatibarang karena panggilan dakwah. Sebelumnya masyarakat Jatibarang adalah penganut ajaran Islam Kejawen. Banyak diantara mereka yang mencampur-adukkan ajaran Islam dengan ajaran kejawen, dikarenakan pengetahuan agama mereka yang minim. Oleh karena itu kiyai Musthofa yang jebolan pesantren terkenal Babakan, Ciwaringin, Cirebon merasa terpanggil untuk meluruskan pemahaman mereka. 

     "Assalamu alaikum, pak kiyai."

    "Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh. Waahh.... rupanya seorang saudara dari jauh. Mari silahkan ki.... masuk...," sahut kiyai Musthofa. Mereka saling berjabat tangan. Tampak ada keceriaan diantara mereka. Ya, bagaimana tidak. Mereka dulunya pernah nyantri bersama. Hanya saja, setelah lulus Ki Marta lebih memilih berkelana. Sedang kiyai Musthofa memilih mengabdi pada masyarakat. Tinggal menetap di Jatibarang dan megajarkan ilmu agama Islam disana.

     "Bagaimana pengembaraanmu selama ini, saudaraku? Tentulah kamu bisa berbagi pengalaman denganku," kata kiyai Musthofa membuka percakapan.

     "Hehehehe.... seperti biasanya... aku memilih jadi gelandangan dan berkelana daripada harus diam dan duduk manis di rumah. Rumahku adalah bumi. Langit adalah atap rumahku. Angin adalah dinding rumahku. Semua orang yang aku temui adalah teman-temanku. Hee.... aku takkan betah bila harus diam menetap sepertimu, wahai saudaraku..." jawab Ki Marta.

     "Rupanya darah Ki Bagus Rangin masih mengalir dalam dirimu... Ia lebih memilih berbaur dengan masyarakat daripada harus tinggal di keraton Cirebon. Lebih suka memerangi penjajah Belanda daripada bersekutu seperti saudaranya, Pangeran Kornel."

     "Ya, mungkin betul, saudaraku. Darah kakekku itu seperti mengalir dalam darahku. Itulah mengapa sampai saat ini aku masih tetap membujang. Laah.... bagaimana ada wanita yang mau kawin sama aku, wong aku sendiri gak punya penghasilan tetap. Rumah tak punya, sawah pun ora gableg*. Nanti dikasih makan apa? Hahahahaha...."

     "Hahahahaha...."

     "Hanya saja sedulurku, aku mulai gak suka sama sepak terjang barisan santri muda yang tergabung dengan Darul Islam. Mereka hendak membuat makar. Katanya, negeri ini tidak sah menurut agama. Laahh... emang negara kita ini bukan negara agama! Negara kita ini negara republik, yang terdiri dari berbagai suku, agama dan bahasa. Jangan lupa, para pahlawan yang berasal dari daerah timur itu kebanyakan orang-orang non-muslim. Jadi kita mesti toleran dong!"

     "Benar, Ki Marta sedulurku. Aku sependapat denganmu. Negara kita ini negara majemuk. Ada berbagai suku, agama dan bahasa. Dan sebaiknya perbedaan ini hendaknya menjadi rahmat, dan bukannya berpecah-belah." 

     "Dan ada lagi... para pemimpin Darul Islam ini mengiming-imingi para pemuda agar mau jadi tentara. Lah, para pemuda tentu saja mau! Siapa yang tidak mau jadi tentara? Jadi tentara itu dihormati para warga. Digandrungi para wanita. Derajat mereka naik di mata rakyat. Tapi mereka ini tidak sadar, kalau tentara yang mereka ikuti itu tentara yang tidak sah. Tentara yang hendak mengadakan makar dan kudeta. Dan kamu tahu tidak, darimana mereka mendapat gaji? Bukan negara yang menggaji mereka! Mereka itu suka memaksa rakyat agar mau memberi sebagian hasil pertanian dan kebun mereka, dengan alasan mengambil zakat. Oleh karena itulah, aku sering beradu mulut ketika bertemu dengan mereka. bahkan sering mereka aku buat kucar-kacir.... hahahaha......," seloroh Ki Marta.

     Akhirnya malam itu Ki Marta menginap di rumah kiyai Musthofa. Semalam suntuk mereka mengobrol. Dan hampir jam 3 pagi mereka baru tidur.


Catatan kaki :

Ngurung = merantau sementara ke desa terdekat untuk mencari pekerjaan 

Nang = nak, panggilan untuk anak kecil masyarakat Indramayu / Cirebon 

Sampeyan = kamu (bahasa Jawa)

Kloyong = pergi tanpa permisi

Ora gableg = tidak punya

 

 

      BERSAMBUNG

    

Selasa, 17 Desember 2013

Menikah Dengan Jin


     Ini adalah kisah nyata pertemuan dan hubunganku dengan jin perempuan. Kisah ini terjadi sekitar tahun 1998 saat aku berumur 25 tahun. Saat itu aku masih bujangan dan bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan jasa. Sebut saja namaku Sangaji.

     Sudah 4 tahun aku bekerja di perusahaan ini. Sebelumnya aku tak pernah merasakan ada keanehan.  Aku bekerja pada shift malam, dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi. Aku bekerja 2 hari sekali. jadi ada jeda istirahat 1 hari. 


     Aku dan teman-temanku biasa ngaji di musholla selepas sholat isya. Bila aku bekerja terpaksa aku tidak mengaji. Tapi bila libur pasti aku ikut mengaji sama pak ustadz di gang kami. Kami diajarkan ilmu fiqih, nahwu, sharaf, dan tafsir. Dan pak ustadz sangat tekun mengajar kami, walau dia tak dibayar sepeserpun. Tapi karena ia adalah seorang ulama yg dituntut untuk menyebarkan ilmu agama, ia tak menuntut bayaran sepeserpun. Biarlah Allah yang akan membayarnya, katanya. Asal ada anak-anak yg mau mengaji saja ia sudah senang. Ia mengajar ngaji dibagi menjadi 2 termin. Selepas maghrib ia mengajar anak-anak, dan selepas isya giliran para remaja. Jumlah remaja yang mengaji sekitar 40 orang. 


     Diantara murid-murid pak ustadz ada beberapa anak yang menonjol. Diantaranya adalah aku, Khaerul, Wahyu, dan Abu. Kami berempat biasa kumpul bareng selepas pulang mengaji. Biasanya kami kumpul di rumahnya Abu. Kami suka begadang. Namun bila sudah tengah malam, kami biasa melakukan sholat hajat bareng-bareng. Dan karena sering sholat hajat bareng-bareng inilah kami sering mengalami hal yang aneh-aneh. Setelah selesai sholat hajat kami sering didatangi makhluk berpakaian jubah putih mirip ulama habaib atau syekh. Ia memberi salam kepada kami kemudian pergi lagi. Jumlahnya kadang lebih dari 4 orang. Karena sering didatangi, maka lama-lama kami sudah terbiasa. Jadi tidak aneh lagi.


     Bila sedang bekerja, karena pergantian shiftnya jam 7 malam, maka aku tidak sempat sholat isya tepat waktu. Aku biasa sholat isya pada tengah malam, bila pekerjaan sudah selesai dan jam istirahat, sekitar jam 1 tengah malam. kebetulan di belakang kantorku ada musholla kecil. Ukurannya sekitar 2 x 3 meter. Karena sudah tengah malam, maka setelah rampung sholat isya maka aku lanjutkan dengan sholat sunah hajat atau tasbih. Dan aku sempatkan berdzikir setelah selesai sholat. Aku biasa istiqomah dzikir asmaul husna yang pak ustadz ajarkan. Gak banyak sih, tapi yang penting istiqomah, kontinyu tiap hari.


     Bila sedang dzikir aku biasa mematikan lampu musholla. Yang ada hanya sorotan lampu dari depan musholla, jadi gak gelap-gelap amat. Biar lebih khusyu' maksudnya. 


     Tiba-tiba saja hari itu aku merasakan aneh pada hari itu. Aku betul-betul terkejut. Saat aku selesai sholat dan salam ke kiri, ada seorang wanita duduk di samping kiriku. Dia berambut sebahu, berbaju putih lengan pendek. Siapakah dia? Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, karena lampu di dalam musholla aku matikan. Dan sorot lampu dari luar musholla hanya menyinari bagian punggungnya. Namun aku tidak berani menyapanya. Aku tahu tak ada siapa-siapa dikantorku pada malam itu, selain rekan kerjaku Rudi dan Darman satpam. Karyawan wanita hanya bekerja pada siang hari. Aku membiarkan wanita itu. Aku tahu dia bukan manusia, tapi jin. Tapi selama dia tidak menganggu, aku biarkan saja. Dan setelah aku selesai dzikir jin wanita itu menghilang, entah kemana. Dan ternyata tidak malam itu saja dia datang menemuiku. Setiap malam, selesai aku sholat hajat atau tasbih dia selalu menemaniku sampai aku selesai dzikir.


     Lama-lama aku penasaran juga. Pada suatu waktu saat aku sedang berdzikir jin wanita itu duduk dihadapanku. Aku mencoba berkomunikasi dengannya.

 
     "Siapakah namamu wahai gadis?" aku mencoba berkomunikasi. Namun dia diam saja. Dia hanya menundukkan kepala. Sepertinya dia malu menampakkan wajahnya. Aku mencoba bertanya berulang-ulang menanyakan namanya, namun dia tetap tidak mau menyebutkan namanya. Dan akhirnya dia menjawab.

 
     "Sebetulnya kamu itu tahu siapa aku. Hanya saja waktunya belum tepat. Dan suatu saat kamu akan tahu siapa aku ini sebenarnya." Dan kemudian ia menghilang di kegelapan malam.




  DATANG KE RUMAH


     Hari itu aku sedang libur kerja. Karena aku terlambat datang ke musholla maka aku sholat maghrib di rumah. Dan saat aku berdzikir tiba-tiba jin wanita itu datang menemuiku. Dan seperti biasa dia duduk disamping kiriku.


     Tiba-tiba temanku Khaerul datang ke rumahku. Maksudnya sih dia mau nyamper aku mengaji. Tahu aku sedang di kamar Khaerul langsung masuk kamarku. Mungkin karena merasa terganggu, jin wanita itu tiba2 saja merasuki tubuh Khaerul. Khaerul menari-nari begitu gemulainya, bagai seorang wanita. Aku perhatikan Khaerul. Gerakan tariannya betul-betul halus bagai gerakan seorang wanita. Khaerul menari-nari sekitar 10 menit, kemudian jin wanita itu keluar sendiri dari tubuh Khaerul.


     "Hey, Khaerul, gerakanmu gemulai sekali, persis seperti gerakan wanita," kataku.


     "Apa sih maksudmu? Aku gak ngerti," jawab Khaerul.


     "Tadi kamu menari-nari, dan gerakanmu gemulai sekali," kataku menjelaskan.


     "Menari? Ah, kamu ngaco.... dari tadi aku duduk saja di ranjang ini," kata Khaerul. waahh... rupanya Khaerul gak sadar. Percuma deh aku jelasin. Maka saat adzan isya bergegas kami menuju musholla.


MENIKAH DENGAN JIN?

     Tengah malam, di musholla kantor. Seperti biasa aku sholat hajat. Dan malam itu aku benar-benar menemui keanehan. Musholla yang gelap dan sempit (karena aku biasa mematikan lampunya saat dzikir) tiba-tiba saja menjadi luas, lapang seperti di aula. Aku sendiri kaget. Bagaimana mungkin musholla yang berukuran 2 x 3 bisa seluas lapangan? Ruangan yang gelap tiba-tiba saja menjadi terang. Aku sempat bingung. Aku sedang sadar, dan tidak dalam keadaan tidur. Dan itu bukan mimpi. Dan sepertinya aku sedang memasuki alam jin. Dan tak lama kemudian jin wanita itu datang lagi menemuiku, tapi tidak sendiri. Dia diiringi seorang jin wanita tua, dan beberapa jin, mungkin jumlahnya sekitar 40'an, berpakaian serba putih. Wajah jin-jin itu bersih dan rupawan, walau usianya tergolong tua. Aku tahu, pasti mereka adalah orang tua dan kerabat jin wanita itu. Lalu apa maksudnya? Mereka saling memberi salam kepadaku. "Assalamu alaikum". Dan aku jawab salam itu, "Wa alaikum salam." Mereka saling menjabati tanganku.


     Dan tiba-tiba saja, jin wanita tua, yang aku rasa ibu dari si jin wanita, dan seorang jin lelaki yang paling tua dan berpakaian serba putih, duduk dihadapanku. Dan yang lainnya duduk berkeliling. Mereka mengatakan sesuatu yang aku sendiri tidak faham apa kata-katanya. Dan aku merasa mereka sedang menikahkan aku dengan anaknya, jin wanita itu.


     Setelah selesai acaranya, mereka kemudian pergi. Dan suasananya kembali seperti semula, gelap dan sempit. Aku betul-betul bingung. Apakah aku sudah menikah dengan jin?


     Dan hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Jin wanita itu tetap menemaniku setiap aku berdzikir. Namun kini sedikit agresif. Setelah selesai dzikir ia tidak langsung menghilang, tapi selalu duduk di hadapanku. Seperti ada hubungan bathin diantara kami. Dan lama kelamaan kami sering bercumbu. Percumbuan yang aneh.


HAMIL?

     Malam itu, saat kami bertemu, jin wanita itu meminta aku memegang perutnya. Perutnya membesar. Hamil? Ya, katanya. Ini adalah anak kita. Masya Allah, aku punya anak jin? Dan perut itu semakin lama semakin membesar. Hingga suatu saat anak itu lahir. Seorang bayi jin perempuan.


     Dan laiknya suami istri, kami masih sering bercumbu, sehingga jin "istriku" itu hamil yang kedua kali. Dan saat lahir, seorang bayi jin laki-laki. Dan aku namakan dia Syarif Nurullah. Dan kamipun sekeluarga suka berkumpul di alam jin. Anak laki-lakiku sangat manja, tidak seperti anak pertama kami yang perempuan. Ia suka sekali aku gendong. Dan aku suka sekali bermain dan bercanda dengannya.

PERPISAHAN

     Selang beberapa tahun kemudian aku dipindahtugaskan ke kantor cabang di kota lain. Dan setelah itu aku tidak pernah bertemu dengan "istri jin" ku lagi. Pernah suatu saat satpam baru di kantorku yang lama menelepon. Ia menceritakan, bahwa suatu malam saat ia bertugas ia kaget karena didatangi seorang jin perempuan. Jin itu menanyakan tentang keberadaanku. Namun sang satpam menjawab, bahwa aku dipindahtugaskan ke kantor cabang lain. Dan saat jin wanita itu bertanya, di kantor cabang mana, satpam tidak memberitahu. Gak tahu katanya. Padahal sih satpam itu tahu, hanya dia takut nanti jin wanita itu datang menyusul aku. 

 

Bunga Mawar Ujung Gang 7 (tamat)

     Selama ini, hubungan cintaku dengan Rosi terus berjalan, lancar2 saja. Walau aku gak pernah ngapel malam minggu. Tapi memang kami sudah sepakat, kita gak pernah janji ketemuan malam hari. Sekalipun weekend. Kami hanya bertemu pada hari minggu pagi. Kami biasa janjian jam 8 pagi, dan pulang jam setengah 5 sore. Dan taktik pacaran seperti ini menguntungkan kami. Untungnya? Kami bisa seharian bersenang-senang sekehendak kami. Bayangkan kalo pacaran pada malam hari. Paling ngapel jam 7 sampe jam 9. Lewat jam 9 ortu pasti curiga. Bayangin, cuman 2 jam! Sedang kalau siang bisa 8 jam. Dan juga gak takut ada resiko ada setan yang lewat... Hahahahaha.... kenyang deh kami bersenang-senang. Dan untungnya lagi, gak ada teman atau orang yang tahu tentang hubungan kami. Soalnya, kami janjian ketemunya di tempat yang agak jauh dari rumah. Dan pulangnya kami berjalan sendiri-sendiri, jadi gak ada yang curiga. Orang tua kamipun gak curiga. Benar2 cara pacaran yang brilian! Hahahahaha.....

     Jaman kami pacaran, tahun 1990 sepeda motor tidak sebanyak sekarang. Malah boleh dibilang, jarang orang yang punya motor. Motor termasuk barang yang mewah. Hanya orang-orang kaya saja yang punya motor. Kalaupun ada motor, hanya ortu yang boleh bawa. Dan alat transportasi yang populer adalah sepeda. Waktu itu yang trend adalah sepeda BMX. Dan kami biasa jalan2 naik sepeda minggu pagi. Dan kadang kami naik minibus kemudian turun dijalan, disuatu desa yang belum pernah kami datangi. Ini untuk menghindari ketemu sama orang2 yang kami kenal. Jadi wajar kalo banyak yang enggak tahu kalo kami pacaran. Kalaupun ada yang dengar desas-desus kami pacaran, kebanyakan mereka malah gak percaya. Bagaimana gak percaya, wong mereka gak pernah melihat kami jalan bareng.... hehehehehe....

     Pada suatu sore, selepas ashar aku main ke rumah sahabatku, Damar. Sejak kecil Damar dipelihara oleh kakak neneknya, atau uwak ibunya. Sama sepertiku, yang sejak kecil dipelihara oleh uwak ibuku. Kami senasib, jadi wajar kalau kami sangat akrab. Dan satu hal lain, nenek Damar ini mempunyai kelebihan panca indra, istilahnya orang pinter atau paranormal. Nenek Damar biasa dikunjungi orang-orang yang minta kesembuhan, baik penyakit medis atau non medis. 

     Saat itu kami sedang ngobrol di beranda rumah Damar. Dan nenek Damar juga ikut nimbrung. Ya namanya juga orang pintar, banyak pengalaman menarik yang nenek Damar ceritakan. Dan tiba-tiba saja Rosi lewat di depan kami. Melihat ada aku di rumah Damar, Rosi senyam-senyum. Dan Damar mulai menggoda Rosi. Ya, Damar paling suka menggoda Rosi kalau sedang bertemu di jalan.

     "Hay, bidadari.... mampir dong.... disini ada cowok-cowok ganteng nih... Apalagi sama Arjuna di sebelahku ini... naksir gak? Hahahaha....." Damar mulai menggoda. Rosi hanya senyum2 saja sambil melirik ke arahku kemudian berlalu.

     Nenek Damar memperhatikan Rosi. Rupanya ia melihat sesuatu yang aneh padanya. 

     "Dia itu pacarmu, Lim?" tanya nenek Damar.

     "Iya mak, emang kenapa?" jawabku malu2.

     "Dia itu..... sorot matanya....." ujar nenek Damar tanpa melanjutkan kata-katanya. Sepertinya ia mengetahui sesuatu pada Rosi. Dan aku faham, karena nenek Damar adalah paranormal, pasti dia mengetahui ada suatu kekuatan aneh pada Rosi.

     "Emang kenapa mak?" aku mengulang lagi pertanyaanku. Dan aku harap nenek Damar mau membuka 'sesuatu' yang ada pada Rosi itu.

     "Ah... enggak.... gak apa-apa...." jawab nenek Damar.

     "Sepertinya emak melihat sesuatu hal pada Rosi. Coba ceritakan apa itu mak, biar aku tahu...." tanyaku.

     "Enggak... enggak... cuman kamu harus hati-hati saja....." pesan nenek Damar.

     "Emak membuatku penasaran saja.... Ya udah, kalo emak gak mau cerita..." kataku kecewa. Kemudian nenek Damar memanggil Damar kedalam rumah rumah, membisikkan sesuatu yang sepertinya memang dirahasiakan dariku. Huh... ada apa sih? Kok main rahasia-rahasiaan segala?

     Dan kini aku sudah berani main ke rumah Rosi, walau Rosi sering melarang. Aku gak peduli. Aku ingin kenal dekat ama keluarganya. Kata tetangga-tetangganya, keluarga Rosi itu aneh. Gak pernah akur dengan tetangga. Suka curiga kalau ada orang yang main ke rumahnya. Dulu waktu aku pertama kali main ke rumahnya pun sempat dicurigai. Namun kelama-lamaan mereka bisa menerimaku juga. Malah mereka sekarang mempercayaiku. Memang sih, ibunya suka bercerita tentang hal-hal supranatural. Dan ayahnya jarang sekali bicara. Bapaknya orang pendiam.



     Banyak pengalaman-pengalaman aneh yang aku alami semasa pacaran ama Rosi. Aku pernah dipukul ama lelaki bertubuh tinggi besar, namun tubuhku yang kurus dan kecil tidak merasakan sakit sedikitpun. Dan aku tahu ternyata ada sesuatu yang melindungiku. Dan itu berasal dari Rosi. Bagaimana Rosi sering datang menemui aku, datang ke rumah dan masuk ke dalam kamarku tanpa aku ketahui. Namun aku bisa mengetahui dia datang menemuiku dari aroma tubuhnya. Dan ketika aku merantau kerja ke Jakarta, Rosi juga sempat datang menemuiku, namun tidak dengan raganya. Katanya dia sempat kesasar di jalan. Tapi untungnya yang pergi hanya rohnya saja. Raganya tetap dirumah. Dan juga pengalaman-pengalaman lainnya yang gak mungkin aku ceritakan disini. Nanti malah ceritanya gak habis-habis... Pokoknya seru deh pacaran ama dia... hehehehe... Dan tentang hal ini Rosi melarang aku menceritakannya pada siapapun. Untuk seukuran gadis kelas 2 SMP memang dia gadis yang luar biasa, aneh, unik dan menarik.

     Dan tentang hubunganku dengan Rosi lama kelamaan mulai renggang. Dan ternyata benar apa kata neneknya Damar! Rosi mempunyai kekuatan dan perangai yang aneh. Dan itu diwariskan dari orang tuanya. Dan satu hal yang paling gak aku suka, dia sering membanding-bandingkan aku dengan lelaki lain. Dia suka menguji kesetiaanku dengan cara berjalan dengan lelaki lain dihadapanku. Atau cara-cara yang aneh dan nyeleneh. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali! Semula aku sempat terpancing emosi. Tapi setelah aku faham sifatnya, aku malah gak peduli. Rosi memang cantik, manis, tinggi semampai, rambutnya yang panjang sampai pantatnya. Kelebihan spiritual yang dia miliki. Dan aroma tubuhnya yang menebarkan pesona. Setiap lelaki yang melihat pasti akan tertarik padanya. 

     Dan satu hal yang aku nilai dari dia. Rosi itu orangnya romantis. Bahkan terlalu romantis. Dia gak suka pacaran di tempat keramaian. Pasar atau mall misalnya. Dia lebih suka jika kami pacaran di pematang sawah, pinggir sungai, berdayung naik perahu, bersepeda menyusuri jalan yang sepi. Dan kami pernah seharian ikut menggembalakan kambing dengan seorang gembala yang kami tidak kenal disuatu pelosok desa yang amat jauh. Dan bagaimana serunya ketika aku sedang menggoda sekor kambing betina, dan tiba2 saja kambing jantannya marah dan menyeruduk pantatku dari belakang, sehingga aku jatuh terjungkal..... hahahaha...

     Rosi amat menyukai puisi. Disetiap surat yang dia berikan padaku, yang aku kumpulin sebanyak satu tas, mungkin jumlahnya hampir 100 surat, dia selalu menyisipkan syair-syair puisi yang indah hasil tulisannya. Namun sayang kini semua surat-surat dan puisi yang indah itu semuanya aku buang. Soalnya, adik-adikku suka iseng membaca surat-surat itu... Hihihihihihi....

     Dan diusia pacaran kami yang menginjak tahun yang ke-6, atau mungkin 7 tahun, aku terpaksa memutuskannya, walau hubungan kami tetap berjalan baik, tanpa ada rasa amarah ataupun benci. Dan aku lebih suka menganggap dia sebagai adik saja.

     Maaf ya Rosi, aku nulis blog ini tanpa izin kamu. 



T A M A T

Senin, 16 Desember 2013

Bunga Mawar Ujung Gang 6

     Pelajaran Fisika. Hadeeuuhh.... ini adalah pelajaran musuh bagiku. Puyeng. Apalagi gurunya jutex. Bikin kesel. Dan pada saat aku mencoba berkonsentrasi pada pelajaran, tiba-tiba tercium olehku aroma wangi yang sangat. Dan sepertinya aku gak asing ama aromanya. Rosi..... ya.... aroma itu mirip dengan aroma tubuh Rosi. Dan aku rasa dikelasku gak ada cewek yang memakai farfum seperti itu. Aku mencoba mendekati Anin yang duduk di depanku. Hmm.... dia gak pake parfum. Dan akupun mencoba mendekati Nunung yang duduk disebelah Anin. Hmm... Nunung pun gak pake parfum. Tapi aroma itu darimana ya?

     "Heee.... sedang ngapain sih kamu?" tanya Bambang yang duduk disebelahku.

     "Kamu tadi nyium bau wangi gak?" tanyaku.

     "Enggak! Gak ada bau sama sekali," jawab Bambang keheranan. Bambang pun mencoba meniru aku mendekati Anin dan Nunung. "Anin dan Nunungpun gak pake parfum."

     "Tapi sungguh tadi aku mencium bau wangi. Dan sepertinya aku hafal parfum itu."

     "Coba Laksmi dan Yuli di belakang... Hmm.... kalian juga gak pake parfum ya?" tanyaku ke Yuli dan Laksmi yang duduk dibelakang kami.

     "Ngapain sih? Iiihh..... " seloroh Yuli.

     "Iya nih, usil banget," tukas Laksmi.

     "Jin? Setan?" tanya Bambang heran.

     "Bukan! Seperti parfum pacarku....."

     "Emang pacarmu setan ya?" tanya Bambang.

     "Hus..... dia itu bidadari...."

     Tiba-tiba Bambangpun berteriak. "Hee... aku juga mencium bau parfum, lewat di depanku. Ya, parfum itu seperti lewat kemudian pergi....."

     "Itu maksudku, Bang."

     "Alim, Bambang, tolong perhatikan papan tulis. Jangan ngobrol sendiri ya? Kalo mau ngobrol diluar saja...." teriak Pak Hendra, guru Fisika kami.

     "Iya pak...!!" sahut kami kompak.

     Pulang sekolah, aku merasa aneh dan heran. Mungkinkah Rosi datang menemuiku? Bagaimana caranya?



* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


     Sore, di musholla sepulang mengaji. Seperti biasa aku nongkrong di belakang musholla, memandangi sawah yang hijau. Angin berhembus begitu semliwir, kata orang jawa mah. Dan tak lama kemudian Rosi lewat hendak pulang.

     "Hay....." sapaku.  Dan kulihat lagi wajah yang begitu anggun dan mempesonakanku.

     "Alim, bantu aku ngerjain PR-ku ya?"

     "Boleh. Dimana?"

     "Di rumah Bu Hani saja, seperti biasa."

     "Oke, aku tunggu."

     "Aku pulang dulu, ya? Nanti aku kembali."

     Tak lama kemudian Rosi muncul dengan membawa buku2 pelajarannya. 

     "PR apa yg kamu gak bisa?"

     "Matematika."

     "Oke, sini aku ajarin."

     Kemudian kamipun mengerjakan PR Rosi di rumah Bu Hani. Dan tak lama kemudian Bu Hani muncul membawa minuman dan makanan.

     "Waduh, bu.... ngerepotin saja...." kataku.

     "Gak papa.... cuman air minum ama kue kering doang, " tukas Bu Hani.

     "Makasih, bu.."

     Selesai mengerjakan PR, aku ceritakan pada Rosi tentang peristiwa tadi siang di sekolah. Eh, Rosi hanya ketawa-tawa saja.

     "Jadi benar kamu tadi siang datang ke sekolahku? Bagaimana caranya?"

     "Itu tak perlu aku jelaskan. Kalaupun aku jelaskan kamu gak akan ngerti."

     Ah, Rosi. Kamu betul2 gadis yang penuh misteri.

     "Alim, diluar terang bulan. Kita duduk diluar saja yuk! Menikmati indahnya bulan purnama," ajak Rosi

     "Yuk!"

     Kemudian kami asyik bercengkrama. Malam ini terasa amat indahnya, seindah hati kami. Bulan purnama bersinar begitu terangnya, menerangi areal persawahan didepan kami. Sesekali terdengar suara kodok dan jangkrik bersahut-sahutan. Dan pohon padi yang menghijau tampak berkilauan tertimpa sinar rembulan. Dan desir angin yang menggoyang2kan dedaunan menimbulkan gemerisik irama alam yang amat merdu.



    Namun Rosi malam itu gelagatnya amat aneh. Ia sering menoleh ke samping musholla, diantara gelapnya rimbunan pohon pisang.

     "Ada apa?" tanyaku heran.

     "Alim, kamu lihat tidak?" tanyanya.

     "Lihat apa?" tanyaku kembali heran.

     "Di pojok situ, diantara rimbunnya pohon pisang, ada sesosok wanita tua berambut putih panjang, memakai selendang kuning, memperhatikan kita dari tadi."

     "Ah, Rosi... kamu jangan menakut-nakuti...." kataku agak merinding.

     "Betul! Wanita itu selalu mengikuti kemana aku pergi.... hiii...." kata Rosi sambil menutup matanya di pundakku.

     "Ah, kamu bercanda.... kemarin juga kamu bilang begitu, ada sesosok wanita tua di pojok musholla."

     "Aku gak bercanda.... wanita itu selalu mengikuti kemana aku pergi. Kamu gak akan bisa melihatnya...."

     "Setankah dia? Kuntilanak?" 

     "Gak tahu.... aku gak mau melihatnya.... dia menatapku terus...." sahut Rosi sambil tetap menutup matanya dipundakku. Ah, kesempatan dalam kesempitan, nih... bisa memeluk tubuh Rosi... hihihihi... Bau tubuhnya sangat wangi. Wangiiii.... sekali... walau berdebar2 juga karena ada sesosok makhluk yang mengawasi.

     "Alim, sepertinya dia sengaja diutus untuk mengawasi aku. Makanya kamu jangan macam-macam dan kurang ajar padaku, ya? Nanti dia marah..."

     "Ah, kamu ini.... emangnya aku cowok apaan? Nanti pulangnya aku anterin ya?" kataku.

     "Gak usah.... nanti mamahku marah..."

     "Masak sih? Emangnya aku anak nakal apa...."

     "Bukan begitu !! Mamahku gak suka kalo aku deket ama cowok. Nanti bisa2 kamu dimarahin ama dia.."

     "Gak !!! Gak bakalan..."

     "Seriuuuusss....., Alim! Mamahku tuh orangnya aneh. Dia gak pernah akur dengan tetangga, bahkan dengan tangga sebelahpun. Tahu sendiri kan?"

     "Tapi tentu sama aku sih lain..."

     "Terserah padamu. Tapi aku saranin jangan...!!"

     "Aku memaksa..."

     Setelah selesai mengerjakan PR, aku mengantar Rosi pulang. dan aroma wangi khas tercium di hidungku. Aroma khas Rosi. Dan sungguh aneh! Padahal kami berjalan beriringan, tapi kok tiba2 saja Om Candra, tetangga Rosi malah menyapa Rosi begini :

     "Darimana Ros, malam2 begini berjalan sendirian saja?"

     "Dari rumah Ibu Hani.." jawab Rosi.

     "Ooohh...."

     Aku betul2 kaget. Kenapa Om Candra hanya menyapa Rosi? Padahal Om Candra masih family denganku. Dia itu saudara sepupu ibuku. Dan lagi, mengapa dia mengatakan kalo Rosi berjalan sendirian? Emangnya dia gak melihat aku? Aku betul2 heran. Aku mencoba bertanya pada Rosi, tapi Rosi malah memberi isyarat agar aku jangan bicara. betul2 aneh. Rosi betul2 gadis misterius bagiku. Dan dia tampak tenang2 saja. "Nanti aku jelaskan," katanya.

     Sampai di depan rumah Rosi, Rosi menyuruh aku sembunyi.

     "Sana sembunyi, jangan sampe ibuku tahu!"

     Maka aku menurut kata2 Rosi. Aku sembunyi di samping rumah Pak Gawa, tetangga sebelah Rosi. Saat hendak masuk kedalam rumah, kulihat Rosi menoleh kearahku sebentar, kemudian masuk. Rupanya dia ingin memastikan kalo aku sudah sembunyi dan tidak diketahui ibunya. Dan saat aku berjalan pulang, Om Candra menyapaku.

     "Darimana kamu Lim, malam2 datang dari arah sana? Dari kuburan kamu?"

     "Hehehehehe... habis main dari blok sebelah, om." Nah, lho... rupanya Om Candra baru bisa melihat aku. Kemudian aku berfikir, mungkin wanita tua yang suka mengikuti Rosi yang menutupi diriku, sehingga aku tidak bisa terlihat oleh Om Candra. kok bisa? Bagaimana caranya?

* * * * * * * * * * * * * * * * 



Kepada : Alim yang baik

Alim, jujurlah padaku.... apa yang telah kamu perbuat padaku? Aku semalaman gak bisa tidur. Yang ada di fikiranku hanyalah kamu. Aku gak bisa konsentrasi belajar. Bahkan disekolahpun aku banyak melamun. Aku harap kamu mau menjelaskannya minggu pagi. Di tanggul kali Cimanuk, tempat yang bisa kita kunjungi.

Alim
Wengi iki rembulane surem
Atiku kekathon tambah peteng kemba
Bintang-bintang ndhelik, ndhelik eling Alim
Atiku dadi siji nedhas perih
Lebur musnah tanpa krana

Wengi iki wulane surem, Alim
Nggubel malang saning ati
Tembangana Alim, tembangana Alimku
Kidung suci tenganing wengi

Ngantuk anthu
Siring wengi
Tembangana atiku, ya Alim
Kidung penganthu
Mung kanggo aku

                                                                       Rosi


     Kututup surat dari Rosi yang dititpkan lewat Tiri tadi sore di musholla. Apa maksud Rosi ya? Apa dia kira aku mengguna-gunai dia? Masya Allah, aku gak mungkin melakukan itu! Aku ini orang Islam. Itu syirik namanya!

     Minggu pagi, jam 8. Aku duduk2 di ranggon kayu di tanggul kali Cimanuk. Angin berhembus sepoy2, menggoyang-goyangkan dedaunan hingga menimbulkan suara gemerisik. Dan satu persatu daun yang kering berjatuhan, mengorbankan diri demi kesuburan tanah dibawahnya. 

     Tak lama kemudian Rosi muncul, mengenakan blus warna putih  dan bawahan warna orange. Perpaduan warna yang amat manis. Namun matanya yang besar dan bulat nampak begitu tajam. Sepertinya mata itu mengawasi setiap sesuatu di dekatnya.

     "Hay.... sudah lama menunggu?" sapanya.

     "Baru 10 menit disini."

     "Alim, kita jalan-jalan yuk..."

     "Kemana?"

     "Hmmm..... kita telusuri saja tanggul kali ini."

     "Boleh...."

     Maka kami berdua pun berjalan menyusuri tanggul kali Cimanuk. Sepanjang tanggul ini banyak dipenuhi pohon lamtoro. Dulu aku sering nyari lamtoro, kemudian aku bawa pulang buat dimasak ibu di rumah. Namun aku lebih suka lamtoro muda buat lalap. Kami tak tahu kemana tujuan kami, yang penting jalan saja.

     "Katanya kamu pengen ngomong sesuatu," tanyaku memecah kebisuan.

     "Alim, kenapa ya, setiap hari wajahmu selalu terbayang. Setiap aku sendiri, setiap aku belajar.... apalagi jika aku hendak tidur. Dimana-mana selalu ada kamu. Aku betul2 kacau. Setiap buku yang aku baca, disitu ada gambar kamu. Aku mencoba mengambil buku lain, namun tetap saja ada gambar kamu disitu. Aku mencoba tidur, tapi ada kamu dilangit2. Kemudian aku mencoba tidur miring, tetapi ada kamu pula disudut kamarku. Aku mencoba memejamkan mata, namun kamu tetap ada di fikiranku. Alim, jujurlah padaku... apa yang telah kamu perbuat padaku?"

     "Rosi, kamu terlalu berlebihan mencintai aku. Mungkin kamu mengira aku telah mengguna2i aku. Tapi sungguh, tak mungkin aku melakukan itu. Aku ini orang Islam. Perbuatan itu adalah perbuatan syirik."

     Rosi diam. Akupun diam.

     "Aku tahu sesuatu. Kamu begitu sering puasa sunah Senin-Kamis. Sudah berapa lama?" tanya Rosi.

     "Sejak aku kelas 2 SMP. Jadi sudah 3 tahun."

     "Mungkin itu yang membuat aku jatuh kepayang padamu. Dan satu hal lagi! Asal kamu tahu saja, nenekku adalah orang pintar (paranormal). Dan dia tahu kamu itu punya khodam, walau dia belum pernah berjumpa denganmu. Jumlah khodam itu ada 3, dan sekarang mungkin sudah bertambah. Khodam itu amat rupawan. Wajahnya mirip kamu, namun lebih cakep."

     "Aku gak ngerti apa ucapanmu. Siapa itu khodam?"

     "Setiap amalan pasti ada khodamnya. Dan hasil dari istiqomahmu puasa Senin-Kamis itu, memunculkan khodam. Khodam itu adalah semacam jin atau malaikat yang akan selalu membantu kita."

     "Ck... ck... ck... Rosi, aku gak menyangka kamu begitu pintar. Padahal kamu masih SMP kelas 2..."

     "Siapa dulu dong nenekku..... Namun begitu, sekarang aku gak perlu khawatir. Sekarang semua khodammu sudah nenek tawan didalam botol."

     "Hah? Kenapa?"

     "Ya biar aku bisa belajar dengan tenang.... bodooohhh...."

     "Hahahahaha..... Tapi nantinya khodamku bisa dikembalikan tidak?"

     "Gak! Soalnya selama kamu masih puasa Senin-Kamis, khodam itu akan muncul kembali. Dan setiap kali khodam itu muncul, maka nenekku akan menangkapnya kembali, dan dikurung lagi dalam botol bersama yang lainnya..."

     "Waahh... sia-sia deh kalo gitu aku puasa...."

     "Makanya kau tuh jangan macam-macam sama aku....."

     "Hehehehe... jahat betul tuh nenekmu...."

     "Weeeee..... kamu yang jahat...." sahut Rosi sambil mencubit aku.

     "Aduuhh.... malah kamu yang jahat nyakitin aku...."

     "Hahahahahaha...." kami kemudian tertawa bersama.

     "Terus kemana nih tujuan kita?" tanyaku kemudian.

     "Kita muter jalan itu saja. Nanti tembusnya ke jalan besar," kata Rosi.


      Bersambung ....




    

Jumat, 13 Desember 2013

Bunga Mawar Ujung Gang 5

     Sore itu, sekitar jam 4 aku duduk2 di bangku kayu bawah pohon mangga belakang musholla. Tempat ini adalah tempat favoritku ketika melepas penat sepulang sekolah. Tiba2 saja Tiri datang menghampiri aku.

     "Alim, ini ada titipan surat dari Rosi. Kemarin malam dia menitipkannya padaku, untuk disampaikan padamu."

     "Oh ya? Makasih ya Tiri."

     "Alim, boleh saya tanya sesuatu ama kamu?" tanya Tiri.

     "Boleh.... kenapa tidak?"

     "Kamu tuh benar2 jadian ama Rosi?"

     "Ah.... enggak... kami cuman berteman saja kok..." selorohku.

     "Sepertinya Rosi naksir kamu. Hanya saja dia ragu, karena kamu dekat ama Lusi."

     "Hmm.... aku pikir juga begitu...."

     "Sebenarnya sih itu urusan kamu. Hanya kamu perlu tahu, Rosi ama Lusi tuh sejak dulu musuhan."

     "Iya, aku juga tahu."

     "Ya udah, itu saja yg mau aku sampaikan. Aku mau pulang dulu...."

     "Makasih ya Tiri...."

     Selepas Tiri pergi, ku buka surat itu.

Kepada : Alim Yang Baik

Terima kasih atas pertemanan kita selama ini. Hanya kamulah satu2nya orang yang mengerti aku. Namun ada suatu hal yang perlu aku sampaikan padamu. Dan kuharap kamu mau menemui aku di tanggul kali Cimanuk hari Minggu pagi jam 8.


Kalau kau mau ku terima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
untukku sendiri tapi


Sedang dengan cermin 
aku enggan berbagi

Rosi

     Apa maksudnya ya? Aku penasaran.


* * * * * * * * * *

     Minggu pagi, di tanggul kali Cimanuk. Di atas ranggon kayu aku duduk2 menunggu Rosi. Kulihat jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, tapi kok Rosi gak muncul2 ya.... Huh.... jenuh.... Maka aku tiduran di atas ranggon. Angin yang berhembus pagi itu sepoi2 mengoyang2an dedaunan, sehingga menimbulkan suara gemerisik, disahut nyanyian burung2 yang berkicau. harmoni alam yang begitu harmonis, sehingga tak terasa aku tertidur.

     Tiba2 terdengar sapaan halus di telingaku. Suara yang amat aku kenal.
      "Hay, Alim.... sudah lama menunggu ya?"
     
     Cepat-cepat aku bangun. Dan Rosi sudah duduk disampingku. Mengenakan kaos lengan panjang bergaris warna putih-biru, dan bawahan panjang warna biru tua. Rambutnya yang panjang tergerai tampak masih basah dengan aroma yang sangat wangi. Rupanya dia habis mandi.
     
     "Maaf ya 'buat kamu menunggu lama. Pagi ini cucianku banyak sekali. Baju seragam dan sepatu. Kamu dari tadi disini?"

     Kulirik jam tangan. "Baru 20 menit". 

     "Kamu punya acara gak hari ini?"

     "Ada.... nungguin kamu....." ucapku sambil menatap matanya yang besar dan bulat. Rosi tertawa kecil.

     "Katanya mau nyampein sesuatu, apa itu?" kataku kembali. Rosi terdiam. Matanya jauh menatap riak kali Cimanuk yang panjang berkelok. Dan dikejauhan tampak seseorang sedang menjala ikan dengan jaringnya. 
Tak ada suara.

     "He.... kok diam saja?" Aku mencoba memecah kesunyian hatinya.  
  
     "Alim, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Boleh?"

     "Boleh....."

     "Gak marah?"

     "Kenapa aku mesti marah?"

     Rosi menatap mataku dalam2, tak berkedip. Sepertinya ia mengharap sesuatu padaku.

     "Alim, kau naksir ama Lusi ya?"

     "Ah, enggak... kami cuman berteman saja."

     "Jangan bohong....."

     "Kenapa aku mesti bohong?" kataku berbohong. Eh... ternyata berbohong juga aku...

     "Aku tahu sesuatu di dalam hatimu. Kamu gak akan bisa berbohong padaku...." Kata2 Rosi ini seperti menghujam jantungku. Bagaimana dia bisa tahu?

     "Apa maksudmu?"

     "Hubunganmu ama Lusi....."

     "Kamu cemburu padanya?"

     Rosi terdiam. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun terkunci.

     "Rosi, kamu naksir aku ya?"

     Sekali lagi Rosi terdiam. Namun dari sorot matanya seperti mengatakan sesuatu, bahwa benar dia naksir aku. Duaarr......!!! Jawaban seperti ini yang sudah lama aku tunggu.

     "Rosi, sebenarnya...... sejak lama... sejak aku dekat ama kamu... aku tuh naksir ama kamu. Namun, karena selama ini Lusi dekat ama aku..."

     "Kamu suka ya sama aku.... Tapi kamu juga naksir ama Lusi...."

     "Ya, sepertinya begitu. Namun itu karena aku belum mendapatkan kepastian darimu...."

     "Sekarang semuanya terserah padamu. Kamulah yang menentukan, pilih aku atau Lusi. Dan kalaupun kamu memilih Lusi, aku tak keberatan.... Dan aku akan menjauh darimu..."

     "Rosi, sebenarnya aku lebih berat ke kamu. Aku dekat ama Lusi karena gak enak aja ama dia, karena selama ini dia baik padaku..."

     "Sekarang terserah padamu.... kamu lelaki, kamulah yang menentukan...."

     "Aku akan memilih kamu... Dan aku akan ngomong baik2 ama Lusi."

     "Bicaralah terus terang ama Lusi, biar semuanya clear..."
 
     "Ya....."

     "Eh, hari sabtu sore kamu punya acara gak?"

     "Gak... emang kenapa?"

     "Antar aku latihan menari ya? Di sanggar seni Mulya Bhakti."

     "Dimana itu?" tanyaku.

     "Desa Tambi, asuhannya Ibu Wangi Indriya."

     "Ooohh... itu.... aku juga tahu... Jam berapa?"

     "Siang jam 2. Aku tunggu ya di depan gang hari sabtu, jam setengah 2."

     "Oke."

     Sore itu aku menemui Lusi dirumahnya. Dan kebetulan saat itu kedua orang tuanya masih di tokonya, belum pulang. Jadi aku bisa bicara bebas padanya. Kuutarakan tentang hubunganku dengan Rosi padanya.

     "Jadi sekarang kamu jadian ama Rosi?" tanya Lusi.

     "Ya. Aku rasa aku mesti jujur padamu. Aku tak mau ada kepura-puraan. Bagaimana menurutmu, Lus?"
   
     Lusi terdiam. pandangan matanya tampak kosong.
   
     "Semua terserah padamu. Aku tak bisa memaksakan hati."

     "Kamu gak marah kan?"

     "Ngapain aku harus marah? Kalau itu memang yang terbaik bagimu, aku terima apa adanya.... yang penting kamu bisa bahagia. Namum pintaku, jangan lupakan aku. Kita tetap bersahabat, kan?"

     "Ya, tentu... kamu adalah sahabat terbaik bagiku..."

     Aku sangat lega Lusi mau menerima keputusanku, walau saat aku pulang aku mendengar ada suara benda yang pecah di dalam rumahnya. Dan beberapa hari kemudian baru aku mendengar dari Imas, kalau Lusi membanting hadiah ulang tahun yang aku berikan di hari ultahnya yg ke 14 tahun.


* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 

     Siang itu, hari sabtu sepulang sekolah aku mengantar Rosi latihan menari di Sanggar Mulya Bhakti. Aku hanya menunggu di depan sanggar, tidak masuk kedalam. Aku hanya melihat dari kejauhan Ibu Wangi begitu tekun melatih murid-muridnya menari tarian tradisional jawa. Alunan musik gamelan terdengar merdu dari pengeras suara di dalam sanggar.

     Tapi hari itu sepertinya Rosi sedang tidak mood. Kulihat dia amat kikuk. Gerakannya sering salah. Sesekali ia menatap keluar ke arahku. Karena sering salah, akhirnya dia berhenti latihan, dan berdiri di jendela menatap keluar. Dia tampak bingung, entah mengapa.

     Saat itu aku sedang ngobrol dengan bapak penjaga sanggar di luar pagar. Dan tiba-tiba saja Rosi sudah berdiri di belakangku.

     "Hay....." sapa Rosi.

     "Udah selesai latihannya?" tanyaku.

     "Belum. Aku lagi galau nih! Kita jalan2 saja yuk.....!"

     "Kemana?"

     "Kemana saja.... aku lagi gak mood. Latihan juga percuma.... Kita ke jalan2 ke tanggul kali Cimanuk saja yuk...."

     "Boleh.... Permisi Pak Parman, kami mau keluar dulu, " sapaku pada Pak Parman, penjaga sanggar.

     "Oh iya nak, hati2 saja ya.."

     "Iya pak, makasih."

     Kemudian kami berdua berjalan beriringan menyusuri tanggul kali Cimanuk. Langit begitu cerah. Dan angin berhembus sepoy2 menyibak rambut Rosi yang panjang tergerai. Dan kicauan burung terdengar bersahut-sahutan di ranting-ranting pohon sepanjang pinggir sungai. Kami saling diam tak bicara.

     "Hey, kok diam saja sih? Bicara dong...!" ucap Rosi memecah kebisuan kami.

     "Hah? Ngomong apa?"

     "Apa saja.... tentang sekolahmu, tentang keluargamu, atau tentang hatimu...."

     "He he he.... saya lebih suka memandang wajahmu yang manis...."

     "Haaahh.... ngerayu.... " tukas Rosi sambil tertawa, maniiiss sekali.

     "Aku baru menyadari, kalau kamu itu begitu cantik."

     "Hah? Emang kamu belum tahu kalo aku itu udah cantik dari sononya.....? Hahahahahaha..."

     "Aku baru menyadarinya sekarang, setelah kita begitu dekat."

     "Sedekat apa?" tanya Rosi manja. Dan tangan Rosi menggenggam tanganku. Aku terkesiap. Sungguh, baru pertama kali ini aku menyentuh tangan seorang gadis. Hatiku berdesir. Jantungku berdegub tak karuan.

     "Katakan padaku, apakah kamu pernah mempunyai pacar?" tanyaku pada Rosi.

     Rosi menggelengkan kepala.

     "Tidak! Kamu lah lelaki yang pertama mengisi hatiku."

     "Oh ya? Untuk gadis secantik dan semanis dirimu?" tanyaku tak percaya.

     "Ya. Kamu tahu sendiri kan, aku gak pernah keluar rumah untuk sesuatu yang tak penting. bahkan untuk sekedar bermain dengan teman2 pun aku tak pernah."

     "Ya. Walau kita tinggal satu gang, aku gak pernah melihat kamu ikut gabung bermain bersama teman2 yang lain. Kamu lebih suka menatap teman2 bermain dari depan rumah, kemudian masuk kembali kedalam rumah. Kenapa?" tanyaku penasaran.

     "Gak papa. Malas saja.... Alim, kita duduk di pinggir sungai saja yuk. Capek jalan2 terus."

     "Ya."



     Kami berdua kemudian duduk di pinggir sungai, menatap aliran air yang panjang berkelok-kelok. Dan di kejauhan tampak ada perahu penyeberangan.

     "Alim, aku mau naik perahu itu! Kita menyeberang kesana yuk!"

     "Yuk...."

     Kami kemudian menaiki perahu menyeberang sungai. Aku duduk disamping pengayuh perahu, dan Rosi duduk diujung sambil memainkan air.

     "Hati2 neng, nanti terjatuh ke sungai, " pengayuh perahu memperingati.

     "Iya nih anak, iseng banget..." tukasku.

     "Hihihihi.... seneng banget ngelihat air..." jawab Rosi.

     "Iya, nanti kalo jatuh baru tahu rasa...."

     Setelah sampai bibir sungai cepat2 kami naik ke tanggul. Sungguh, ini adalah pertama kali aku menginjak desa seberang sungai.

     "Desa apa ini Lim namanya?" tanya Rosi.

     "Bangkaloa."

     "Sepi sekali ya desanya? Kok gak ada rumah2 ya?"

     "Ada tuh satu, disana," kataku sambil menunjuk sebuah rumah kecil diantara rimbunnya pepohonan.
   
     Rosi kembali menggenggam tanganku. Dan aku pun kini tak ragu2 lagi memegang erat tangannya. Terasa damainya hati ini. Tentraaaammmmm.......sekali..... Kami terus berjalan menyusuri tanggul sungai, hingga sampai pada sebuah rumah mungil sederhana yang aku tunjuk tadi.

     Sesampainya di depan rumah itu, kami duduk di balai bambu di depan terasnya. Rumah itu sepi sekali, seperti tak berpenghuni.

     "Ini rumah apa kuburan ya? Kok sepi sekali, mana penghuninya?" tanya Rosi.

     "Gak tahu. Mungkin lagi pada ke sawah atau ke kebon," jawabku.


     "Emang sih sepertinya tinggal disini tenang. Jauh dari hiruk-pikuk kota dan bisingnya kendaraan."

     "Ya, apalagi buat orang yang sedang pacaran seperti kita. Dijamin gak ada yang mengganggu," jawabku.

     "Hehehehehe... tahu saja...."
   
     Ku pandangi wajah Rosi yang cantik dan manis itu. Rambutnya yang panjang tergerai dengan poni di depannya. Kedua alisnya indah bagai dua buah bulan sabit yang bertemu. Bentuk bibirnya yang lucu. Seyum manisnya yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Sungguh, ini adalah kesempatan bagi diriku untuk bisa memandang wajahnya lama-lama.

     "Kenapa memandang wajahku terus?" tanya Rosi.

     "Sungguh sempurna Tuhan menciptakan makhluknya."

     "Ya iya lah.... Tuhan tidak menciptakan makhluk dengan sia-sia."

     "Dan ciptaannya yang sempurna itu kini berada disisiku."

     "Dan ciptaannya yang begitu ganteng itu kini mengisi ruang hatiku yang sedang dilanda kasmaran...."

     "Hehehehehe....." kami berdua tertawa.

     "Alim, jadilah kekasihku untuk selama-lamanya..... ini pintaku, tulus dari dalam hatiku... hanya kamulah pelipur laraku. Pengisi kesepian hatiku. Penerang didalam gelapku....." pinta Rosi sambil menggenggam tanganku. Ucapannya kini tampak serius. Raut mukanya pun tampak seperti mengharap suatu kebahagiaan di masa mendatang. Kubalas genggaman tangannya.

     "Berjanjilah padaku, Alim. Jangan sakiti hatiku. Hanya engkaulah tumpahan seluruh jiwaku."

     "Ya, aku berjanji, asal engkaupun berjanti padaku untuk tidak berpaling pada lelaki yang lain."

     "Janji?"

     "Janji!"

     Ragu-ragu kukecup tangan Rosi. Dan Rosipun tampak tersenyum puas.

     "Setiap malam aku selalu memimpikanmu. Setiap aku sendiri wajahmu selalu terbayang. Setiap aku belajar, aku gak bisa konsentrasi. Sepertinya wajahmu muncul disetiap lembaran buku. Setiap aku hendak tidur, wajahmu selalu muncul di langit2 rumah dan tembok. Dan setiap kali aku mendengar kamu adzan di musholla, seolah kamu sedang memanggil-manggil namaku. Terasa tajam menusuk jauh kedalam hatiku. Entahlah, apakah ini yang dinamakan cinta sejati?" ucap Rosi sambil menatapku dalam-dalam. Dan tangannya mempermainkan jari-jemariku. 

     "Ya, mungkin inilah yang dinamakan cinta sejati, " jawabku.

Dan kami kemudian saling diam, larut dalam perasaan cinta yang begitu mendalam.

     Sore, sekitar pukul setengah lima kami kemudian pulang. Sungguh, ini adalah pengalaman yang paling berkesan di hati kami. Dan akan selalu kami kenang seumur hidup kami.


Jangan Tutup Dirimu (by Iwan Fals)


Dari hati yang paling dalam
Kudendangkan... sebuah lagu temani sepi
Sejenak iringi nurani

Ada jarak diantara kita
Selimuti sekian waktu t'lah tersita
Ingin kuhilang jarak terbentang.... semoga

Datanglah kau kekasih, dekap aku erat-erat
Jangan buang pelukku yang tulus
Biarkan hujan turun, basahi jiwa yang haus
Jangan tutup dirimu

Buat apa kau diam saja
Bicaralah agar aku semakin tau, warna dirimu duhai permata
Kau mimpiku... aku tak bohong
Seperti yang kau kira, seperti yang s'lalu kau duga
Pintaku kau percayalah usah ragu

Datanglah kau kekasih, dekap aku erat-erat
Jangan campakkan pelukku yang tulus
Biarkan hujan turun basahi jiwa yang kering
Jangan tutup dirimu

Bersambung.......