Rabu, 22 Mei 2013

Bunga Mawar Ujung Gang 1

Bagian 1 : Kesan Pertama



     Oaahheemmm..... mata ini masih terasa mengantuk ketika aku dibangunkan oleh suara alunan qiro KH Muammar ZA dari membran TOA musholla. Kulihat jam weker di meja kamarku. Pukul 04:10. Masih 25 menit lagi menuju waktu subuh. Walau hari ini adalah liburan sekolah tahun ajaran baru 1990, bukan berarti aku harus bermalas-malasan. Karena urusan ibadah adalah urusan pribadi dengan Allah. Hmm... masih tergambar jelas di otakku sisa mimpi semalam. Ya, aku melihat matahari dan rembulan muncul bersamaan dalam satu waktu. Aneh juga ku pikir. Apakah ada artinya? Karena mimpi itu bagiku tidak biasa. Mudah-mudahan ada pertanda baik, bukan sebaliknya.

  Ku ambil sarung biru kumal dan peciku. Peci kuletakkan diatas kepala dan sarung aku lilitkan di leherku. Ibu tampak sudah bangun duluan. Ia sedang membereskan pakaian kotor untuk direndam kemudian dicuci setelah sholat subuh. Bergegas aku menuju musholla. 

     Sampai di musholla, suasananya tampak masih lengang, belum ada seorangpun jamaah yang datang. Rupanya Pak Ustadz sehabis nyetel kaset pulang lagi ke rumahnya. Makmum, rumah Pak Ustadz hanya berjarak 20 m dari musholla. Segera saja aku ambil sapu yang tergeletak di belakang pintu, kemudian menyapu lantai, di mulai dari tempat imam.

     Tak lama kemudian seorang gadis masuk. Ia berambut panjang lurus sampai ke pantat dengan poni di depannya. Badannya langsing, berkulit sawo matang manis. Matanya besar. Aku kenal gadis itu. Ia tinggal di ujung gang. Rumahnya menghadap ke sawah, dengan 2 pohon jambu air yang rimbu di depan rumahnya. Namanya Rosi. 

“Biar aku saja yang menyapu. Masa’ ada cewek, cowok yang nyapu,” kata Rosi sambil merebut sapu dari tanganku. Rosi membereskan rambutnya yang panjang kemudian disanggulkan. Tercium olehku aroma wangi dari rambutnya, yang menggetarkan hatiku. Kemudian ia mulai menyapu. Aku terdiam seperti patung. Aku seperti tersihir oleh aromanya. 

Sebenarnya rumahku dan rumah Rosi masih dalam satu gang. Namun saya jarang melihat Rosi. Tidak seperti anak-anak kebanyakan, Rosi jarang keluar rumah. Bila pulang sekolahpun ia paling duduk-duduk saja di depan rumah. Ia tak pernah bergabung dengan teman-teman sebayanya untuk bermain petak umpet, congklak, slodoran atau permainan anak-anak lainnya. Ia seperti tertutup.

“Kok diam saja sih? Minggir dong! Aku kan lagi nyapu,” aku tersentak kaget. Oh iya. Cepat-cepat aku keluar kemudian duduk di samping musholla dekat tempat wudhu. Tampak pemandangan sawah di belakang musholla. Dan dari sana tampak pula sebuah rumah di ujung gang yang menghadap sawah dengan 2 pohon jambu airnya yang rimbun. Itulah rumah Rosi.  
Terus terang, aku terpesona. Baru kali ini aku melihat ada seorang gadis yang mau sholat subuh berjamaah di musholla. Biasanya sih hanya beberapa orang saja. Pak Ustadz sebagai imam, aku, Pak Pandi, Pak Mukrim, Pak Toha, Pak Haji Yakub, Pak Herman, Pak Ibad, Mang Ila pamanku. Sedang dari jamaah perempuan paling Ibu Hj Sayidah istri Pak H.Yakub, Ibu Imas istri Pak Toha, Ibu Yuni istri Pak Ustadz Rofik, Ibu Ipah istri Pak Pandi, Nenek Romlah, dan Yu Sulastri. 

Saat selesai wudhu kulihat Rosi pun selesai pula menyapu. Tepat pukul 04:35 aku lantunkan adzan, dan para jamaahpun satu persatu berdatangan. 

Selesai adzan kulirik sebentar ke arah Rosi. Ia sedang membereskan mukenah. Dengan bola matanya yang besar iapun menatap ke arahku sebentar, kemudian membuang pandanganya ke arah lain. Ia kemudian berdiri, mengenakan mukenahnya kemudian melaksanakan sholat qobliyah subuh. Ku perhatikan ia sebentar. Hmmm.... ia tampak ayu, anggun dan manis.

Saat aku selesai sholat qobliyah, tak lama pak ustadz datang. Dan kamipun melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Selesai sholat, ku hampiri Rosi. Aku mencoba bertanya sesuatu padanya. Aku tahu Rosi orangnya amat tertutup dan susah didekati.

 “Ros, sekarang kamu sekolahnya kelas berapa, sih?” aku mencoba memancing pembicaraan.


“Kelas 2 MTs. Kalo kamu?” Rosi balik bertanya padaku.
 
“Kelas 2 SMA. Sekarang sekolah libur kenaikan kelas, kan?”

“Ya, libur 2 minggu. Masuk lagi tanggal 2 Agustus 1990.”

“Punya acara liburan kemana?” tanyaku kembali.

“Gak punya acara. Kalo kamu sendiri?” diapun balik nanya kembali. Walau Rosi menjawab semua pertanyaanku, tapi sikapnya seperti acuh. Tak ada ekspresi.

“Aku juga gak punya acara. Paling jalan-jalan pagi saja. Ke jalan baru itu, sambil menikmati pemandangan persawahan. Jalannya sepi, cocok buat olah raga pagi.”

Rosi tak bereaksi. Ia membereskan mukenah dan sajadahnya, kemudian pulang. Dan saat aku duduk sendiri di teras musholla, Pak Ustadz dan Ibu Yuni, istrinya menghampiriku.

“Kok melamun saja Lim? Mendingan lari pagi sana, biar sehat,” kata Pak Ustadz.

“Hehehe.... iya Pak Ustadz. Pak ustadz, saya mau nanya, boleh nggak?” 

“Tanya apa?”

“Tafsir mimpi....” tanyaku.

“Emang saya tukang falak? Hahahaha....” Pak Ustadz tertawa. Ibu Yuni pun ikut tertawa.

“Gini lho Pak Ustadz. Semalam saya mimpi melihat matahari dan rembulan muncul bersamaan. Apa artinya ya?” tanyaku.

“Hmm..... nampaknya ada 2 orang gadis yang naksir sama kamu, Lim,” Pak Ustadz menjawab dengan agak serius.

“2 orang gadis? Masa’ sih? Siapa ya....? Padahal aku gak ganteng-ganteng amat. Dan akupun bukan anak orang kaya. Tak ada kebanggaan yang pantas aku jadikan andalan,” jawabku penasaran.

“Materi mungkin kamu gak punya. Tapi ada sesuatu yang kamu miliki, dan tidak ada pada pemuda lain disini,” kata Pak Ustadz. 

“Apa itu?” tanyaku penasaran.

“Kamu rajin ibadah. Dan kamupun rajin puasa sunah hari Senin dan Kamis,” kata Pak Ustadz lagi. Aku kaget juga. Dari mana Pak Ustadz tahu kalau aku sering puasa Senin-Kamis? Padahal aku gak pernah cerita.

“Kata siapa aku sering puasa Senin-Kamis?” kataku.

“Hahahaha.... orang lain mungkin gak tahu, tapi Pak Ustadz tahu, walau kamu gak pernah cerita,” Ibu Yuni ikut nimbrung. 

“Bisa tahu darimana?” tanyaku penasaran. Tapi Pak Ustadz tidak menjawab pertanyaanku. Ia hanya senyum-senyum saja. 

“Orang yang suka puasa itu wajahnya memancarkan cahaya,” akhirnya Ibu Yuni yang menjawab.

“Lalu siapa 2 gadis yang naksir sama aku itu?” tanyaku penasaran lagi.

“Hahahahaha.... itu gak perlu saya jawab. Toh jawabannya kamu tahu sendiri,” kata Pak Ustadz. “Udah deh, kami pulang dulu. Di rumah masih banyak pekerjaan.”

“Iya deh Pak Ustadz, Ibu Yuni, saya juga mau pulang. Mau jogging... mumpung liburan sekolah.”

Biasanya sepulang dari musholla aku suka berjalan cepat. Tapi karena hari ini adalah liburan sekolah, maka aku jalan pelan-pelan saja, sambil menikmati pagi. Langit tampak merah, dengan mega-meganya yang tampak indah bagai riak gelombang di lautan. 

Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh suara bel sepeda.

“Kring... kring... kring.... permisi, mau lewat.” Aku kaget. Cepat-cepat aku minggir ke samping kiri. Saat aku menoleh ke belakang, tampaklah seorang gadis berambut panjang dengan poni di depannya sedang mengayuh sepeda. Ternyata Rosi. “Jangan melamun di jalan, nanti ketabrak lho..... hihihihi...”

Sebenarnya sudah beruntung aku bisa bercakap-cakap dengannya tadi sebelum sholat subuh. Biasanya susah banget ngobrol ama dia.

“Mau ikut nggak? Jalan-jalan ke jalan baru....” ajaknya.

“Ikut dong....” waahh.... kesempatan nih, bisa pendekatan ama Rosi.

“Tapi aku pulang dulu, ya? Naroh sarung dan kopyah.....”

“Oke.. saya tunggu disini.”
Cepat-cepat aku berlari pulang. Uhuy....... kesempatan nih. Pucuk ditimpa ulampun tiba. 10 menit kemudian aku sudah sampe jalan lagi.

“Silahkan bonceng di belakang....” 

Kemudian aku bonceng di belakang sepedanya. Dan aroma wangi khas dari rambutnya tercium lagi oleh hidungku. Kurasakan, aroma itu bukan dari parfum yang ada di toko-toko, dan bukan pula parfum di tubuh atau bajunya, tapi betul-betul dari rambutnya.

“Kok diam saja sih? Ngomong dong.....” Rosi memecah kesunyian pagi yang cerah ini. Langit tampak semakin memerah. Daun-daun dan rumput-rumput yang basah tampak bekilauan.

“Heh? Ngomong apaan?” jawabku.

“Ceileeehh.... emang saya patung, apa?”

Aku tak tahu harus ngomong apa. Rambut Rosi yang panjang kadang menampar halus wajahku. Namun aku membiarkannya. 


Matahari nampak muncul dari balik pepohonan, menambah kemilauan daun-daun yang masih basah oleh embun. Dan kicauan burung-burung menyambut kedatangan sang surya.

Tiba-tiba kudengar alunan sebuah lagu dari mulut Rosi. Aku hafal betul lagu itu. Sebuah lagu dari Tika Bisono.
 

“Ketika Senyummu Hadir”

Detik-detik telah berlalu, aku sabar menantinya
Sampai nanti kan saatnya
Hadirnya apa yang kudamba, dalam cinta

Kutunggu isyarat matamu, adakah perhatianmu
Sementara hati ini telah bicara, menanti saat...

Ketika senyummu hadir, ketika hati bicara
Dan saling bertegur sapa
Terlintas bahagia....

Ketika senyummu hadir, ketika mata bicara
Dan saling memandang mesra
Di dalam cintamu, cintaku...
Kasih mesra, kasih mesra...



“Kamu suka lagu itu?” tanya Rosi.

     “Ya.... Lagunya Tika Bisono kan?”
“He-eh... Kita nyanyi bareng-bareng yuk...” ajak Rosi.
“Boleh...” Dan kamipun menyanyikan lagu itu bareng-bareng. Rosi tampak gembira sekali.
“Kau tahu, baru kali ini aku merasa senang. Seperti burung yang baru lepas dari kandang,” kata Rosi.
“Oh ya? Kamu terlalu lama diam di rumah. Kamu jarang sekali bergaul ama teman-teman yang lain,” jawabku.
“Males.... enakan di rumah,” katanya. “Alim, gantian dong, kamu yang ngegoes. Aku capek...” pinta Rosi.
“Ya iya lah.... masa perempuan yang ngegoes. Biar aku saja yang nyetir, kamu yang bonceng.”
“He-eh....”
Kemudian gantian aku yang nyetir. Rasanya bangga deh bisa membonceng gadis secantik Rosi. Dan tiba-tiba saja tangan Rosi yang halus berpegangan pada pinggangku. Seerr.... hatiku berdesir. Terus terang, baru kali ini ada wanita yang menyentuh tubuhku.
Ketika matahari agak meninggi, kami pulang. Mungkin sekitar jam 6.30. Kami berpisah di ujung gang.
Terus terang pengalaman pagi ini sungguh berkesan bagiku. Rosi, gadis yang amat sulit didekati, yang kata teman-teman sedikit angkuh, ternyata bisa dekat denganku. Rasa-rasanya aku bisa jatuh cinta nih. Cinta pertama. Hihihi.....



Bersambung......