Oaahheemmm..... mata ini
masih terasa mengantuk ketika aku dibangunkan oleh suara alunan qiro KH Muammar
ZA dari membran TOA musholla. Kulihat jam weker di meja kamarku. Pukul 04:10.
Masih 25 menit lagi menuju waktu subuh. Walau hari ini adalah liburan sekolah
tahun ajaran baru 1990, bukan berarti aku harus bermalas-malasan. Karena urusan
ibadah adalah urusan pribadi dengan Allah. Hmm... masih tergambar jelas di
otakku sisa mimpi semalam. Ya, aku melihat matahari dan rembulan muncul
bersamaan dalam satu waktu. Aneh juga ku pikir. Apakah ada artinya? Karena
mimpi itu bagiku tidak biasa. Mudah-mudahan ada pertanda baik, bukan
sebaliknya.
Ku ambil sarung biru kumal dan peciku. Peci
kuletakkan diatas kepala dan sarung aku lilitkan di leherku. Ibu tampak sudah
bangun duluan. Ia sedang membereskan pakaian kotor untuk direndam kemudian
dicuci setelah sholat subuh. Bergegas aku menuju musholla.
Sampai di musholla, suasananya tampak
masih lengang, belum ada seorangpun jamaah yang datang. Rupanya Pak Ustadz
sehabis nyetel kaset pulang lagi ke rumahnya. Makmum, rumah Pak Ustadz hanya
berjarak 20 m dari musholla. Segera saja aku ambil sapu yang tergeletak di
belakang pintu, kemudian menyapu lantai, di mulai dari tempat imam.
Tak lama kemudian seorang gadis masuk. Ia
berambut panjang lurus sampai ke pantat dengan poni di depannya. Badannya
langsing, berkulit sawo matang manis. Matanya besar. Aku kenal gadis itu. Ia
tinggal di ujung gang. Rumahnya menghadap ke sawah, dengan 2 pohon jambu air
yang rimbu di depan rumahnya. Namanya Rosi.
“Biar
aku saja yang menyapu. Masa’ ada cewek, cowok yang nyapu,” kata Rosi sambil
merebut sapu dari tanganku. Rosi membereskan rambutnya yang panjang kemudian
disanggulkan. Tercium olehku aroma wangi dari rambutnya, yang menggetarkan
hatiku. Kemudian ia mulai menyapu. Aku terdiam seperti patung. Aku seperti
tersihir oleh aromanya.
Sebenarnya
rumahku dan rumah Rosi masih dalam satu gang. Namun saya jarang melihat Rosi.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan, Rosi jarang keluar rumah. Bila pulang
sekolahpun ia paling duduk-duduk saja di depan rumah. Ia tak pernah bergabung
dengan teman-teman sebayanya untuk bermain petak umpet, congklak, slodoran atau
permainan anak-anak lainnya. Ia seperti tertutup.
“Kok
diam saja sih? Minggir dong! Aku kan lagi nyapu,” aku tersentak kaget. Oh iya.
Cepat-cepat aku keluar kemudian duduk di samping musholla dekat tempat wudhu.
Tampak pemandangan sawah di belakang musholla. Dan dari sana tampak pula sebuah
rumah di ujung gang yang menghadap sawah dengan 2 pohon jambu airnya yang
rimbun. Itulah rumah Rosi.
Terus
terang, aku terpesona. Baru kali ini aku melihat ada seorang gadis yang mau
sholat subuh berjamaah di musholla. Biasanya sih hanya beberapa orang saja. Pak
Ustadz sebagai imam, aku, Pak Pandi, Pak Mukrim, Pak Toha, Pak Haji Yakub, Pak
Herman, Pak Ibad, Mang Ila pamanku. Sedang dari jamaah perempuan paling Ibu Hj
Sayidah istri Pak H.Yakub, Ibu Imas istri Pak Toha, Ibu Yuni istri Pak Ustadz
Rofik, Ibu Ipah istri Pak Pandi, Nenek Romlah, dan Yu Sulastri.
Saat
selesai wudhu kulihat Rosi pun selesai pula menyapu. Tepat pukul 04:35 aku
lantunkan adzan, dan para jamaahpun satu persatu berdatangan.
Selesai
adzan kulirik sebentar ke arah Rosi. Ia sedang membereskan mukenah. Dengan bola
matanya yang besar iapun menatap ke arahku sebentar, kemudian membuang
pandanganya ke arah lain. Ia kemudian berdiri, mengenakan mukenahnya kemudian
melaksanakan sholat qobliyah subuh. Ku perhatikan ia sebentar. Hmmm.... ia
tampak ayu, anggun dan manis.
Saat
aku selesai sholat qobliyah, tak lama pak ustadz datang. Dan kamipun
melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Selesai
sholat, ku hampiri Rosi. Aku mencoba bertanya sesuatu padanya. Aku tahu Rosi
orangnya amat tertutup dan susah didekati.
“Ros,
sekarang kamu sekolahnya kelas berapa, sih?” aku mencoba memancing pembicaraan.
“Kelas
2 MTs. Kalo kamu?” Rosi balik bertanya padaku.
“Kelas
2 SMA. Sekarang sekolah libur kenaikan kelas, kan?”
“Ya,
libur 2 minggu. Masuk lagi tanggal 2 Agustus 1990.”
“Punya
acara liburan kemana?” tanyaku kembali.
“Gak
punya acara. Kalo kamu sendiri?” diapun balik nanya kembali. Walau Rosi
menjawab semua pertanyaanku, tapi sikapnya seperti acuh. Tak ada ekspresi.
“Aku
juga gak punya acara. Paling jalan-jalan pagi saja. Ke jalan baru itu, sambil
menikmati pemandangan persawahan. Jalannya sepi, cocok buat olah raga pagi.”
Rosi
tak bereaksi. Ia membereskan mukenah dan sajadahnya, kemudian pulang. Dan saat
aku duduk sendiri di teras musholla, Pak Ustadz dan Ibu Yuni, istrinya menghampiriku.
“Kok
melamun saja Lim? Mendingan lari pagi sana, biar sehat,” kata Pak Ustadz.
“Hehehe....
iya Pak Ustadz. Pak ustadz, saya mau nanya, boleh nggak?”
“Tanya
apa?”
“Tafsir
mimpi....” tanyaku.
“Emang
saya tukang falak? Hahahaha....” Pak Ustadz tertawa. Ibu Yuni pun ikut tertawa.
“Gini
lho Pak Ustadz. Semalam saya mimpi melihat matahari dan rembulan muncul
bersamaan. Apa artinya ya?” tanyaku.
“Hmm.....
nampaknya ada 2 orang gadis yang naksir sama kamu, Lim,” Pak Ustadz menjawab
dengan agak serius.
“2
orang gadis? Masa’ sih? Siapa ya....? Padahal aku gak ganteng-ganteng amat. Dan
akupun bukan anak orang kaya. Tak ada kebanggaan yang pantas aku jadikan
andalan,” jawabku penasaran.
“Materi
mungkin kamu gak punya. Tapi ada sesuatu yang kamu miliki, dan tidak ada pada
pemuda lain disini,” kata Pak Ustadz.
“Apa
itu?” tanyaku penasaran.
“Kamu
rajin ibadah. Dan kamupun rajin puasa sunah hari Senin dan Kamis,” kata Pak
Ustadz lagi. Aku kaget juga. Dari mana Pak Ustadz tahu kalau aku sering puasa
Senin-Kamis? Padahal aku gak pernah cerita.
“Kata
siapa aku sering puasa Senin-Kamis?” kataku.
“Hahahaha....
orang lain mungkin gak tahu, tapi Pak Ustadz tahu, walau kamu gak pernah
cerita,” Ibu Yuni ikut nimbrung.
“Bisa
tahu darimana?” tanyaku penasaran. Tapi Pak Ustadz tidak menjawab pertanyaanku.
Ia hanya senyum-senyum saja.
“Orang
yang suka puasa itu wajahnya memancarkan cahaya,” akhirnya Ibu Yuni yang
menjawab.
“Lalu
siapa 2 gadis yang naksir sama aku itu?” tanyaku penasaran lagi.
“Hahahahaha....
itu gak perlu saya jawab. Toh jawabannya kamu tahu sendiri,” kata Pak Ustadz.
“Udah deh, kami pulang dulu. Di rumah masih banyak pekerjaan.”
“Iya
deh Pak Ustadz, Ibu Yuni, saya juga mau pulang. Mau jogging... mumpung liburan
sekolah.”
Biasanya
sepulang dari musholla aku suka berjalan cepat. Tapi karena hari ini adalah
liburan sekolah, maka aku jalan pelan-pelan saja, sambil menikmati pagi. Langit
tampak merah, dengan mega-meganya yang tampak indah bagai riak gelombang di
lautan.
Tiba-tiba
saja aku dikejutkan oleh suara bel sepeda.
“Kring...
kring... kring.... permisi, mau lewat.” Aku kaget. Cepat-cepat aku minggir ke
samping kiri. Saat aku menoleh ke belakang, tampaklah seorang gadis berambut panjang
dengan poni di depannya sedang mengayuh sepeda. Ternyata Rosi. “Jangan melamun
di jalan, nanti ketabrak lho..... hihihihi...”
Sebenarnya
sudah beruntung aku bisa bercakap-cakap dengannya tadi sebelum sholat subuh.
Biasanya susah banget ngobrol ama dia.
“Mau
ikut nggak? Jalan-jalan ke jalan baru....” ajaknya.
“Ikut
dong....” waahh.... kesempatan nih, bisa pendekatan ama Rosi.
“Tapi aku pulang dulu, ya? Naroh sarung dan kopyah.....”
“Tapi aku pulang dulu, ya? Naroh sarung dan kopyah.....”
“Oke..
saya tunggu disini.”
Cepat-cepat
aku berlari pulang. Uhuy....... kesempatan nih. Pucuk ditimpa ulampun tiba. 10
menit kemudian aku sudah sampe jalan lagi.
“Silahkan
bonceng di belakang....”
Kemudian
aku bonceng di belakang sepedanya. Dan aroma wangi khas dari rambutnya tercium
lagi oleh hidungku. Kurasakan, aroma itu bukan dari parfum yang ada di
toko-toko, dan bukan pula parfum di tubuh atau bajunya, tapi betul-betul dari
rambutnya.
“Kok
diam saja sih? Ngomong dong.....” Rosi memecah kesunyian pagi yang cerah ini.
Langit tampak semakin memerah. Daun-daun dan rumput-rumput yang basah tampak
bekilauan.
“Heh?
Ngomong apaan?” jawabku.
“Ceileeehh....
emang saya patung, apa?”
Aku
tak tahu harus ngomong apa. Rambut Rosi yang panjang kadang menampar halus
wajahku. Namun aku membiarkannya.
Matahari
nampak muncul dari balik pepohonan, menambah kemilauan daun-daun yang masih
basah oleh embun. Dan kicauan burung-burung menyambut kedatangan sang surya.
Tiba-tiba
kudengar alunan sebuah lagu dari mulut Rosi. Aku hafal betul lagu itu. Sebuah
lagu dari Tika Bisono.
“Ketika
Senyummu Hadir”
Detik-detik
telah berlalu, aku sabar menantinya
Sampai
nanti kan saatnya
Hadirnya
apa yang kudamba, dalam cinta
Kutunggu isyarat matamu, adakah perhatianmu
Sementara
hati ini telah bicara, menanti saat...
Ketika senyummu hadir, ketika hati bicara
Dan
saling bertegur sapa
Terlintas
bahagia....
Ketika senyummu hadir, ketika mata bicara
Dan
saling memandang mesra
Di
dalam cintamu, cintaku...
Kasih mesra, kasih mesra...
Kasih mesra, kasih mesra...
“Kamu suka lagu itu?” tanya Rosi.
“He-eh...
Kita nyanyi bareng-bareng yuk...” ajak Rosi.
“Boleh...”
Dan kamipun menyanyikan lagu itu bareng-bareng. Rosi tampak gembira sekali.
“Kau
tahu, baru kali ini aku merasa senang. Seperti burung yang baru lepas dari
kandang,” kata Rosi.
“Oh
ya? Kamu terlalu lama diam di rumah. Kamu jarang sekali bergaul ama teman-teman
yang lain,” jawabku.
“Males....
enakan di rumah,” katanya. “Alim, gantian dong, kamu yang ngegoes. Aku
capek...” pinta Rosi.
“Ya
iya lah.... masa perempuan yang ngegoes. Biar aku saja yang nyetir, kamu yang
bonceng.”
“He-eh....”
Kemudian
gantian aku yang nyetir. Rasanya bangga deh bisa membonceng gadis secantik
Rosi. Dan tiba-tiba saja tangan Rosi yang halus berpegangan pada pinggangku.
Seerr.... hatiku berdesir. Terus terang, baru kali ini ada wanita yang
menyentuh tubuhku.
Ketika
matahari agak meninggi, kami pulang. Mungkin sekitar jam 6.30. Kami berpisah di
ujung gang.
Terus
terang pengalaman pagi ini sungguh berkesan bagiku. Rosi, gadis yang amat sulit
didekati, yang kata teman-teman sedikit angkuh, ternyata bisa dekat denganku.
Rasa-rasanya aku bisa jatuh cinta nih. Cinta pertama. Hihihi.....