Sabtu, 13 Juli 2013

Bunga Mawar Ujung Gang 3

     Sore, selepas maghrib. Aku duduk-duduk dibelakang musholla, di halaman rumah Pak Herman. Aku berharap bisa bertemu Rosi. Aku kangen ama matanya yang besar, lirikannya yang tajam, dan rambutnya yang panjang tergerai. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya di musholla. Kemanakah dia? Atau dia sedang sakit? Duh... kangennya diriku...

     Menjelang isya, Tiri, tetangga Rosi lewat. Dia hendak ke musholla. Melihat aku duduk sendiri dia menyapa.

     "Duuuhh.... lagi nunggu seseorang ya?" sapanya. 


     "Siapa?" 

     "Siapa lagi kalau bukan 2051." 

     "Apa tuh?" Aku tahu, maksud Tiri adalah Rosi. Tapi aku pura-pura gak ngerti.

     "Gak tahu atau pura-pura gak tahu?"

     "Au ah... gelap..." aku pura-pura gak tahu.

     "2051 alias Rosi..."

     "Ehh... kemana ya dia, gak liat-liat?" Ah, ada kesempatan nih buat nanyain Rosi. Mungkin Tiri tahu keadaan Rosi. Dia kan tetangga sebelah rumahnya.

     "Dia sakit, udah 5 hari. Kamu gak nengokin?"

     "Sakit? Ooohh... pantas.... Kasihan ya?! Sakit apa?"

     "Gak tahu. Sekarang sih kayaknya sudah mendingan. Kemarin dia minta tolong sama saya, membantu ngerjain PR matematikanya."

     "Terus?"

     "Aku suruh saja minta bantuan Alim. Soalnya Alim kan jago dalam mata pelajaran matematika."

     "Ah.... Tiri.. kamu bisa saja. Jangan terlalu memuji...."

     "Tapi Rosi pengen nanya kamu malu. Orang tua Rosi juga melarang Rosi keluar malam kalau gak ada perlunya."

     "Terus?"

     "Kalau kamu mau dan ada waktu, bantuin ngerjain PRnya. Disini saja, di rumahnya Pak Herman. Istri Pak Herman kan masih familinya Rosi. Jadi orang tua Rosi gak khawatir."

     "Oke deh... kapan?" Ah, kesempatan itu akhirnya datang juga. Bisa deket sama Rosi lagi nih....
     "Besok saja, selepas sholat isya...."

     Cihuy..... yes... yes.. yes.... seneng juga hatiku.


    *****************************************************************


     Seperti ucapan Tiri kemarin, betul saja, selepas isya aku lihat ada Rosi di rumah Pak Herman. Dia mengenakan piyama warna pink. Dan sejumlah buku tergeletak di atas meja ruang tamu. 
     "Tok.. tok.. tok... assalamu alaikum," ucapku.
     "Wa alaikum salam. Eh, Alim.... kebeneran. Masuk," sapa Rosi.
     "Lagi belajar ya?" Aku kemudian masuk dan duduk berhadapan.
     "Aku ada PR nih. Bantuin aku dong! Kata Tiri kamu paling pinter mata pelajaran matematika. Terus terang, aku kurang di pelajaran matematika. Ajarin aku ya?"
 
     "Matematikanya tentang apa?"
     "Volume ruang."
     "Ah, itu sih gampang....."

     "Gampang bagi kamu. Bagiku susah banget..."

     Maka malam itu aku ajari Rosi cara mengerjakan PRnya. Ia tampak begitu antusias menyimak setiap penjelasan yg aku kemukakan. Hingga akhirnya PR itu selesai dalam waktu 1 jam.
     " Terima kasih Alim mau mengajarin aku. Nanti kalo aku ada PR lagi jangan kapok ya bila aku minta bantuan."
     "Nggak! Aku malah seneng kok bisa membantu kamu," ucapku. Padahal sih seneng karena bisa deket ama Rosi.
     "Kita duduk di teras depan saja yuk. Di dalam gerah."
     "Iya. Diluar adem, banyak angin," aku menimpali.
     Kemudian kami duduk di buk depan rumah. Angin yg berhembus sepoi-sepoi begitu manja menyibak rambut Rosi. Dan aroma wanginya begitu tersebar, sampai ke jantungku.
     "Alim, tahu enggak.... minggu kemarin aku sakit. Makanya aku gak ngaji ke musholla."
     "Ya. Aku dengar dari Tiri."
     "Pada saat aku sakit, aku seperti mati suri. Aku gak sadarkan diri. Sampai mamahku menangis semalaman."

     "Emang kamu sakit apa?"

     "Gak tahu. Hanya saja, saat aku tak sadarkan diri, aku merasa kamu datang ke kamarku."

     "Mungkin kamu mimpi."

     "Mungkin juga. Dalam mimpiku itu kamu berdiri di samping tempat tidurku, sambil bersedih. Kemudian kamu memberiku setangkai bunga mawar. Apa artinya ya?"

     "Gak tahu."

     Rosi menatap mataku. Bola matanya yang besar seperti mengharap jawaban dariku. Kulihat alisnya yang indah seperti bulan sabit.
     "Alim.... setiap kamu adzan, rasanya kamu seperti memanggil-manggil diriku....."
     "Hah? Masa'?"
     "Betul."
     "Mungkin kamu lagi jatuh cinta...."

     "Mungkinkah?"

     "Ya...."
     Rosi menatap wajahku kembali. Ia seperti berharap sesuatu. Kemudian ia membuang pandangannya jauh ke hamparan sawah di depan. Bintang-bintang tampak berkedipan. Namun malam itu tak nampak rembulan.
     Tiba-tiba Rosi menjatuhkan pandangannya ke sudut belakang musholla. Ia seperti ketakutan, kemudian ia mendekatkan duduknya disampingku.
     "Kenapa? Kamu seperti melihat hantu." tanyaku.
     "Apa kamu tidak melihat?"

     "Melihat apa?" tanyaku heran.

     "Aku melihat ada wanita tua disudut sana."
     "Wanita? Mana? Gak ada siapa-siapa..." Aku perhatikan arah pandangan Rosi. Yang tampak olehku hanya kegelapan malam.
     "Di sudut belakang musholla itu. Ada wanita tua yang menatapku. Rambutnya putih panjang sampai ke pantat. Ia mengenakan selendang kuning...." Rosi tampak ketakutan. Ia kemudian menutup matanya dan menjatuhkan kepalanya dipundakku.
     "Kuntilanak? Mana? Gak ada apa-apa." Aku heran. Gak ada apa-apa disana. Hanya sekumpulan pohon pisang. Tapi sikap Rosi ini memberikan kesempatan juga buat aku dekat dengannya.
     "Gak! Aku gak mau menatapnya. Ia mengawasiku terus! Matanya menatapku terus.."

     "Rosi, kamu jangan menakut-nakutiku. Aku juga merinding nih...."

     "Alim, anterin aku pulang, ya? Aku takut...."
     "Boleh..."

     "Tapi jangan sampai ke rumah ya. Cukup sampai depan pagar. Sebelum aku masuk rumah kamu jangan pulang dulu."

     "Baik."
     
     Maka malam itu aku antar Rosi pulang. Kami berjalan beriringan. Dan aroma wangi rambutnya kembali aku cium.
     "Kamu suka pake parfum ya?"
     "Parfum? Gak... aku gak pernah pake parfum..."

     "Tapi kok rambutmu bau wangi....."


     "Oh ya?"

     Aku mengantar sampai pagar rumahnya. Rosi mengetuk pintu. Tak lama kemudian mamahnya keluar dan membukakan pintu. Rosi menatapku sebentar, melambaikan tangan kemudian masuk. dan akupun pulang.

     Sampai dirumah, di tempat tidur. Sambil tiduran aku berfikir, memikirkan sifat Rosi yang aneh. Betulkah ia melihat kuntulanak atau jin perempuan? Padahal aku sering lewat belakang musholla, tapi tak pernah melihat sesuatu, apalagi jin atau kuntilanak. Apa Rosi mengada-ada? Atau memang dia bisa melihat hantu? 

     Ah.... Rosi betul-betul gadis yang aneh. Sorot matanya tajam, seperti mata kucing yang selalu mengawasi. Lagaknya pun aneh. Ia selalu menghindar bila ada orang yang mendekatinya. Ia tak pernah ikut bergabung dengan teman-teman sebayanya, hanya sekedar untuk bermain petak-umpet atau bermain congklak misalnya. Ah.... betul-betul aneh. Namun sikapnya itu justru membuat aku penasaran, ingin tahu banyak tentang dia.


 Bersambung....