Jumat, 09 Mei 2014

Meluapnya Sungai Cimanuk 1

     Desa Jimpret, kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, di musim kemarau tahun 1959. Siang itu desa tampak lengang, tak ada kegiatan penduduk. Rumah-rumah tampak sepi. Yang terlihat hanya beberapa ekor ayam yang berkeliaran mengais-ngais tanah mencari binatang kecil yang bersembunyi didalamnya. Hmmm..., pada musim paceklik ini biasanya para penduduk suka ngurung* mencari pekerjaan sekedar untuk mencari sesuap nasi.  Kebanyakan mereka suka ke daerah pegunungan, atau ke desa pesisir untuk mencari ikan. 

     Dari ujung desa tampak sesosok lelaki tua memasuki desa tersebut. Tubuhnya kurus, dengan kulit coklat kehitaman. Berbaju hitam, celana komprang hitam. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam campur putih uban, tersembul dibelakang kain iket wulung penutup kepala khas jawa. Matanya cekung, dengan biji mata seperti mau keluar. Pandangan matanya tajam. Dia tak beralas kaki. Usianya diperkirakan sekitar 75 tahun, atau lebih. Namun begitu, otot-ototnya tampak masih kekar, terlihat dari setiap langkah kakinya yang masih tegap.  

     Namun langkah lelaki tua itu terhenti, ketika dia melihat seorang anak kecil sedang asyik sendirian merakit mainan dari ranting daun nangka dan lidi. Usia anak itu sekitar 9 tahun. Anak kecil itu tak sadar kalau dia sedang diperhatikan.

"Siapa namamu, nang*?" tanya lelaki tua itu.

     Anak kecil itu kaget. Segera ia menoleh sumber suara. Dilihatnya seorang lelaki tua sedang berdiri di belakangnya. Ia memperhatikan lelaki tua itu, dari atas sampe ke bawah. Kulit lelaki itu kumal, seperti jarang mandi. Kakinya pun tampak berdaki tebal, seolah habis menempuh perjalanan jauh.

     "He, apa kamu budek? Namamu siapa?" tanya orang tua itu mengulangi.

     "Carmin," jawab anak kecil itu, sambil menyeka ingus yang keluar dari hidung dengan lengannya, kemudian diperetkan di celana kolornya yang dekil.

     "Nama desa ini apa, ya?"

     "Jimpret."

     "Oohh... berarti sebentar lagi aku sampe ke Jatibarang."

     Lelaki tua itu duduk dibawah pohon nangka. Ia mencopot kain iket kepalanya untuk menyeka keringat di wajahnya, kemudian dipake lagi. Ia menyandarkan tubuhnya di batang pohon. Ia memejamkan matanya. Hembusan angin yang sepoi-sepoi dari sawah cukup untuk mengeringkan keringatnya.  Sedang Carmin tetap asyik nerusin pekerjaannya.

     Belum lama lelaki tua itu memejamkan mata, tiba-tiba dari arah timur muncullah 5 orang lelaki dengan masing-masing membawa barang di pundaknya. Malah seorang lagi menarik-narik seekor kambing. Mereka berjalan sambil tertawa terbahak-bahak. Lelaki tua itu terkejut. Dia merasa hafal dengan suara gelak tawa itu.

     "He.... rupanya aku mendengar suara gerombolan Sadiwan. Lagi-lagi mereka... pasti mereka habis merampok lagi," pikir lelaki tua itu. Lelaki tua itu segera berdiri kemudian menatap segerombolan pendatang itu.

     Melihat seorang lelaki yang amat dikenalnya, gerombolan Sadiwan kaget. Sadiwan, sang pemimpin gerombolan perampok itu amat terkenal di wilayah Indramayu, Subang, Karawang dan Majalengka, karena wilayah itu adalah wilayah operasi mereka. Mereka adalah kawanan perampok kawakan. Jika sedang merampok, mereka tak segan-segan membunuh korbannya. Biasanya yang mereka incar adalah para saudagar kaya, atau para pedagang keturunan Cina. Sadiwan sang pemimpin gerombolan itu bertubuh kurus kecil. Tapi jangan disangka.... dia adalah murid terbaik kiyai Munaji dari pengguron Tapak Macan, desa Tugu kecamatan Sliyeg, Indramayu. Hanya saja, karena salah pergaulan dia menjadi perampok. 

     "He.... Ki Marta.... rupanya kita ketemu lagi disini...," sapa Sadiwan.

     "Hadeehh... kamu lagi... kamu lagi.... Habis merampok dimana kau, kerempeng?" sahut lelaki tua yang dipanggil Ki Marta itu.

     "Bukan urusan sampeyan*....!! Sebaiknya biarkan kami lewat, jangan kau ganggu...!!"

   "Mau lewat sih lewat saja, apa pedulimu? Aku juga sudah bosan berurusan denganmu..." ketus Ki Marta. "Ku lihat kamu membawa makanan. Setidaknya sekali-kali kamu mesti beramal... beri saya makanan yang kamu bawa itu. Hehehehehe...."

     Karmin, anak buah Sadiwan bertubuh genpal yang sedang membawa setundun pisang memberikan bawaannya pada Ki Marta.

     "Nih, makan tuh pisang...." sahut Karmin agak ketakutan. Memang, gerombolan Sadiwan adalah gerombolan perampok yang cukup bengis. Tapi dihadapan Ki Marta mereka amat ciut nyalinya. Mereka tahu kesaktian ilmu Ki Marta. Mereka pernah dibuat kucar-kacir. Walaupun Sadiwan murid terbaik kiyai Munaji, tapi kesaktian Sadiwan jauh dibawah kesaktian Ki Marta.

     "Hehehehe.... baguuss... kebeneran dari pagi aku belum makan. Dan aku tak perlu berterima kasih padamu, karena pisang ini adalah pisang hasil curian... hehehehe..."

     "Terserah padamu. Kami mau pulang. Biarkan kami pulang...."

     "Kloyong*..."

     Akhirnya gerombolan itu pergi meneruskan perjalanannya. Sebenarnya tak ada yang tahu dimana markas gerombolan itu. Mereka suka berpindah-pindah, untuk menghindari kejaran petugas. Bahkan sang guru pun, kiyai Munaji tak tahu. Kabarnya, Sadiwan mempunyai banyak istri yang tersebar di berbagai desa. 

     "He, Carmin... kamu lapar tidak?" tanya Ki Marta pada Carmin.

     "Ya...." sahut Carmin sambil menggaruk-garuk kepalanya. Matanya tampak berbinar-binar melihat setundun pisang di depan kepalanya.

     "Hehehehehe... ini ada pisang. Kita makan bersama, yuk..."

     Akhirnya mereka makan pisang pemberian gerombolan Sadiwan cs. Ki Marta hanya memakan 2 buah pisang saja. Selebihnya pisang itu dia berikan pada Carmin.

     "He, Carmin.... bawa pulang saja sisa pisang ini. Aku sudah kenyang. Aku mau meneruskan perjalanan ke Jatibarang."

     Akhirnya Ki Marta meneruskan perjalanannya ke Jatibarang. Ia tidak memperdulikan Carmin yang kebingungan. Carmin sebenarnya ingin membawa pulang pisang itu, tapi tubuhnya yang kecil tidak kuat untuk mengangkat pisang satu tundun itu.

     3 jam kemudian Ki Marta  sudah sampai di Jatibarang. Ia mengunjungi salah seorang temannya, kiyai Musthofa. Sebenarnya kiyai Musthofa bukan penduduk asli Jatibarang. Ia berasal dari Ciwaringin, Cirebon. Ia tinggal di Jatibarang karena panggilan dakwah. Sebelumnya masyarakat Jatibarang adalah penganut ajaran Islam Kejawen. Banyak diantara mereka yang mencampur-adukkan ajaran Islam dengan ajaran kejawen, dikarenakan pengetahuan agama mereka yang minim. Oleh karena itu kiyai Musthofa yang jebolan pesantren terkenal Babakan, Ciwaringin, Cirebon merasa terpanggil untuk meluruskan pemahaman mereka. 

     "Assalamu alaikum, pak kiyai."

    "Wa alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh. Waahh.... rupanya seorang saudara dari jauh. Mari silahkan ki.... masuk...," sahut kiyai Musthofa. Mereka saling berjabat tangan. Tampak ada keceriaan diantara mereka. Ya, bagaimana tidak. Mereka dulunya pernah nyantri bersama. Hanya saja, setelah lulus Ki Marta lebih memilih berkelana. Sedang kiyai Musthofa memilih mengabdi pada masyarakat. Tinggal menetap di Jatibarang dan megajarkan ilmu agama Islam disana.

     "Bagaimana pengembaraanmu selama ini, saudaraku? Tentulah kamu bisa berbagi pengalaman denganku," kata kiyai Musthofa membuka percakapan.

     "Hehehehe.... seperti biasanya... aku memilih jadi gelandangan dan berkelana daripada harus diam dan duduk manis di rumah. Rumahku adalah bumi. Langit adalah atap rumahku. Angin adalah dinding rumahku. Semua orang yang aku temui adalah teman-temanku. Hee.... aku takkan betah bila harus diam menetap sepertimu, wahai saudaraku..." jawab Ki Marta.

     "Rupanya darah Ki Bagus Rangin masih mengalir dalam dirimu... Ia lebih memilih berbaur dengan masyarakat daripada harus tinggal di keraton Cirebon. Lebih suka memerangi penjajah Belanda daripada bersekutu seperti saudaranya, Pangeran Kornel."

     "Ya, mungkin betul, saudaraku. Darah kakekku itu seperti mengalir dalam darahku. Itulah mengapa sampai saat ini aku masih tetap membujang. Laah.... bagaimana ada wanita yang mau kawin sama aku, wong aku sendiri gak punya penghasilan tetap. Rumah tak punya, sawah pun ora gableg*. Nanti dikasih makan apa? Hahahahaha...."

     "Hahahahaha...."

     "Hanya saja sedulurku, aku mulai gak suka sama sepak terjang barisan santri muda yang tergabung dengan Darul Islam. Mereka hendak membuat makar. Katanya, negeri ini tidak sah menurut agama. Laahh... emang negara kita ini bukan negara agama! Negara kita ini negara republik, yang terdiri dari berbagai suku, agama dan bahasa. Jangan lupa, para pahlawan yang berasal dari daerah timur itu kebanyakan orang-orang non-muslim. Jadi kita mesti toleran dong!"

     "Benar, Ki Marta sedulurku. Aku sependapat denganmu. Negara kita ini negara majemuk. Ada berbagai suku, agama dan bahasa. Dan sebaiknya perbedaan ini hendaknya menjadi rahmat, dan bukannya berpecah-belah." 

     "Dan ada lagi... para pemimpin Darul Islam ini mengiming-imingi para pemuda agar mau jadi tentara. Lah, para pemuda tentu saja mau! Siapa yang tidak mau jadi tentara? Jadi tentara itu dihormati para warga. Digandrungi para wanita. Derajat mereka naik di mata rakyat. Tapi mereka ini tidak sadar, kalau tentara yang mereka ikuti itu tentara yang tidak sah. Tentara yang hendak mengadakan makar dan kudeta. Dan kamu tahu tidak, darimana mereka mendapat gaji? Bukan negara yang menggaji mereka! Mereka itu suka memaksa rakyat agar mau memberi sebagian hasil pertanian dan kebun mereka, dengan alasan mengambil zakat. Oleh karena itulah, aku sering beradu mulut ketika bertemu dengan mereka. bahkan sering mereka aku buat kucar-kacir.... hahahaha......," seloroh Ki Marta.

     Akhirnya malam itu Ki Marta menginap di rumah kiyai Musthofa. Semalam suntuk mereka mengobrol. Dan hampir jam 3 pagi mereka baru tidur.


Catatan kaki :

Ngurung = merantau sementara ke desa terdekat untuk mencari pekerjaan 

Nang = nak, panggilan untuk anak kecil masyarakat Indramayu / Cirebon 

Sampeyan = kamu (bahasa Jawa)

Kloyong = pergi tanpa permisi

Ora gableg = tidak punya

 

 

      BERSAMBUNG