Maghrib.
Sore ini aku datang lebih awal ke musholla. Dan karena aku datang paling awal,
maka akulah yg adzan di musholla. Allaahu akbar..... Allaahu akbar....
Tak
lama kemudian Rosipun muncul di musholla. Aku senang sekali bisa menatap
wajahnya kembali. Ia menatapku sebentar, kemudian pergi menuju tempat air
wudhu. Seperti biasanya, ia tampak tenang dan sedikit acuh. Rosi.... sifatnya
agak sedikit aneh menurutku. Padahal tadi pagi ia nampak ceria sekali, saat
jalan-jalan pagi ke jalan baru. Tapi sekarang ia nampak sedikit acuh. Sungguh,
hal itu membuatku semakin penasaran.
Tak
lama kemudian Lusipun muncul dengan teman-temannya, Sofia, Imas dan Juju.
Memang selama ini aku dekat ama Lusi. Ia orangnya baik, periang, dan ramah.
Kulitnya kuning langsat, dengan badan sedikit gemuk. Kalo tertawa suka lepas,
sampai badannya ikut terguncang. Suka bicara apa adanya. Ceplas-ceplos. Bila
ada teman-teman sedang berkumpul, ia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk
membeli makanan dan minuman. Oleh karena itulah ia banyak disukai teman-teman.
“Hay
si ganteng...., kangen nggak ama yayangmu ini?” Imas menggodaku, yang sedang
duduk disamping musholla.
“Hus.....
apaan sih ?” Kulihat Lusi mencubit pinggang Imas.
“Aduuhh....
ampun sayang.... sakit tahu ???” Imaspun meringis.
“Kamu
sih.... ngomong sembarangan saja....” sahut Lusi. Merekapun saling tertawa. Aku
sih senyum-senyum saja. Mereka memang suka bercanda. Saat berpapasan dengan
Rosi mereka diam. Aku tahu Lusi cs gak suka Rosi. Mereka seperti berseteru.
Walau berpapasan mereka tak bertegur sapa.
Selepas
maghrib, seperti biasa aku duduk-duduk di beranda rumah Pak Herman, belakang musholla.
Rumah Pak Herman amat teduh, dengan pohon jambu air di halamannya. Rumahnya pun
menghadap ke sawah.
Tak
lama Rosi lewat, hendak pulang ke rumahnya. Wahh.... kesempatan nih, buat
pedekate.
“Hay....
mau pulang?” sapaku.
“He-eh...
mau pulang dulu,” jawabnya.
“Ngapain?
Sebentar lagi juga isya,” aku mencoba mencari alasan agar bisa mengobrol lama
dengannya.
“Iya
sih.....” jawabnya ragu-ragu.
“Duduk
saja disini sebentar nemenin aku, sambil nunggu waktu isya,” aku mencoba
mencari dalih.
“Nanti
ada yang marah nggak nih?” jawab Rosi.
“Siapa
yang marah?” selorohku.
“Ya
pacarmu lah.....” ucap Rosi sambil tersenyum manja. Maniiiss... sekali.
“Emang
aku punya pacar ?”
“Kali
saja. Katanya kamu berpacaran ama Lusi....”
“Siapa
bilang? Kami cuman berteman saja, kok!” aku membantah.
“Tapi
kalian dekat, kan?”
“Ya....
tapi cuman sebatas teman,” aku beralasan.
“Pada
mulanya sih teman, tapi lama-kelamaan bisa lebih dari teman.”
“Jangan
ngaco ah.....”
“Maaf
ya kalo kamu tersinggung. Jangan marah. Aku cuman bercanda kok,” sahut Rosi
manja, kemudian duduk disampingku.
“Alim,
tahu nggak... tiap aku mendengar suara kamu adzan, hatiku terasa teriris. Suara
adzanmu seperti menyayat hatiku. Tajaaam...... banget.”
“Ah,
masa’ sih?”
“Bener,
lho.... kenapa ya?” Rosi menatap wajahku. Matanya yang besar dan bulat seperti
mengharap jawaban dari diriku.
“Gak
tahu.”
“Suara
adzanmu panjang meliuk-liuk. Tiap kali mendengar kamu adzan, aku mencoba
menahan nafas. Huuff... sampe aku gak kuat menahannya....”
“Maksudnya?
Aku gak ngerti...”
“Kata
nenekku, kalo kamu ingin suaranya kuat saat mengaji, kamu harus belajar
mengolah nafas. Caranya, dengan menahan nafas saat mendengar suara adzan. Dan
melepaskan udara saat selesai adzan. Sungguh, aku tak kuat menahan nafas saat
kau adzan. Nafasmu begitu panjang.”
“Oh
ya? Mungkin karena aku tidak merokok dan rajin berolah raga,” aku memberi
penjelasan.
“Alim,
terima kasih ya mau nemenin aku jalan-jalan kemarin pagi.”
“He-eh,”
sahutku. Padahal aku juga senang banget bisa berjalan bareng ama Rosi yang
cantik dan manis.
“Besok
kamu punya acara nggak?”
“Besok
pagi? Gak ada... paling nyuci baju doang.”
“Besok
kita jalan-jalan lagi yuk!”
Wow....
aku girang banget Rosi mau ngajak aku jalan-jalan lagi.
“Sehabis
subuh seperti kemarin?”
“Jangan
habis subuh. Sekitar jam 8 pagi. Soalnya pagi-pagi juga aku mau nyuci pakaian
dulu.”
“Boleh.”
“Aku
tunggu di depan gang ya!?”
Pagi,
jam 7:45. Semua pekerjaanku sudah beres. Nyuci baju, sepatu, ngepel sudah aku
selesaikan. Cepat-cepat aku berjalan menuju depan gang. Dan tak berapa lama ku
lihat Rosipun sedang berjalan, kira-kira 50 meter dibelakangku. Rosi memakai
kaos kuning dan celana pendek warna coklat. Ia memberi isyarat agar aku
berjalan duluan. Saat aku menyeberang jalan, Rosi kemudian menyusulku sambil
berjalan agak cepat. Dan tak lama kamipun berjalan beriringan.
“Hay...
sudah beres pekerjaanmu?” sapaku.
“Sudah....”
jawab Rosi.
Rosi
merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan beberapa butir permen.
“Mau?”
“Boleh,”
aku mengambil sebutir permen.
“Aku
membawa radio kecil pemberian nenekku,” ucapku.
“Oh
ya?”
“Ya,”
jawabku sambil mengeluarkan radio kecil di sakuku.
“Cariin
aku lagu dong,” pinta Rosi.
Aku
mencoba mencari-cari gelombang radio. Dan aku dapat sebuah lagu dari Itang
Yunasz.
Klak Klik Kluk (Cinta Pertama) – Itang
Yunasz
Tak tuk, tak tuk terdengar
Langkah berjalan di atas panggung busana
Aduhai gayanya, tampak serasi dengan busananya
Dan sungguh daku jadi suka padanya
Klak klik, klak klik, klak klik kluk
Kupotret dia, dan kuberikan senyum
Dia pun tersenyum
Membuat hatiku bertambah suka
Akhirnya aku dapat berkenalan dengan dirinya
Akhirnya aku dapat berkenalan dengan dirinya
Lalu terus ku coba untuk dapat memilikinya
Reff. Dua bulan lamanya aku dekati dia dengan cinta membara
Dan dengan sejujurnya
kukatakan aku cinta pada dirinya
Lalu dia berkata, aku juga
cinta pada dirimu, cinta pertama...
Kami
terus berjalan menyusuri jalan baru. Jalannya sepi. Maklum, dulu jalan ini
hanya sebuah jalan setapak di tengah sawah. Kiri-kanan jalan hanya tampak pohon
mangga dan pohon widara. Angin berhembus agak keras. Maklum, areal persawahan.
Angin yang keras kadang mengacaukan rambut Rosi yang panjang tergerai. Rosi
tampak sesekali membereskan rambutnya.
“Alim,
kita balap lari yuk... itung-itung olah raga,” ajak Rosi.
“Boleh.
Saya hitung sampai 3 ya?” kataku.
“Jangan
kamu yang menghitung. Aku saja. Awas ya, 1.... 2...,” belum sampai hitungan
ke-3, Rosi sudah lari duluan.
“Iiihh...
kamu curang!” teriakku. Cepat-cepat aku lari menyusulnya. Rosi tampak tertawa
“Aliiimmm.....
berhenti! Aku capek!” teriak Rosi. Rosi tampak terengah-engah. Maka aku
berhenti menunggunya. Dan setelah Rosi agak dekat, eehh..... dia lari lagi
mendahului aku.
“Kamu
ketipu..... hahahaha...,” Rosipun tertawa-tawa lagi sambil berlari.
“Kamu
curaaanngg...... awas ya....,” maka aku pun berlari menyusul Rosi, bahkan
mendahuluinya lagi, sehingga Rosi tertinggal beberapa meter dibelakangku. Dan
tiba-tiba.....
“Aduh....
Aliimm.... aku jatuh.”
Aku
terus berlari. Ah, paling akalnya Rosi lagi nih. Maka aku tidak memperdulikan
dan terus berlari.
“Aliiimm..............
tolong akuuu..... serius, aku jatuh beneran.”
Aku
berhenti. Aku menoleh ke belakang. Dan kulihat Rosi terjatuh beneran. Kulihat
lututnya lecet. Maka segera aku menghampirinya.
“Ini
akibat kamu berlaku curang,” ujarku.
“Alim,
serius nih. Bantu aku berdiri. Kakiku sakit,” pinta Rosi. Maka aku memegang
tangannya dan membantu Rosi berdiri. Tangannya mungil dan halus. Dan kucium lagi
aroma wangi khas dari rambutnya. Sebenarnya hatiku agak berdesir juga. Maklum,
baru pertama kali ini aku dekat dan menyentuh tangan seorang wanita. Wanitanya
cantik lagi. Uhuyy....
“Kamu
gak apa-apa?” tanyaku.
“Udah
tahu lecet..... dibilang gak apa-apa,” Rosi agak cemberut.
“Laahh...
cuman lecet sedikit doang...”
“Tapi
kan tetap saja sakit.”
“Tunggu
disini sebentar ya..?”
“Mau
kemana?”
“Sebentar
saja.”
Kulihat
dipinggir sawah ada pohon kangkungan. Aku ingat, sewaktu kecil aku sering
menggunakan getah pohon kangkungan untuk menghentikan pendarahan atau lecet.
Maka aku potong pucuk pohon kangkungan itu. Dan getahnya aku oleskan pada
lututnya yang lecet.
“Apakah
ini aman?” tanya Rosi.
“Ya
pasti aman lah..! Aku sejak kecil udah biasa menggunakan getah pohon kangkungan
kalo lecet-lecet.”
Saat
mengolesi lutut Rosi, aku mencoba mencuri pandang wajahnya. Matanya besar,
bulat dan indah. Bulu alisnya halus, dan hampir menyatu. Bibirnya merah muda.
Bentuk bibirnya aneh dan lucu. Bibir bawahnya seolat terbelah dua. Kalau orang
jawa bilang, manggis rengat. Dan tak sengaja mata kami beradu. Tahu Rosi juga
memandang wajahku aku malu juga. Maka aku fokus lagi pada lututnya.
“Alim...
makasih ya?”
“He-eh.”
Dan kubantu Rosi berdiri.
“Sebaiknya
kita istirahat dulu. Di bawah pohon mangga itu saja. Rimbun dan rindang.”
“He-eh.”
Dan
kemudian kami berduapun duduk dibawah pohon mangga yang rimbun. Angin dari
sawah berhempus sepoi-sepoi. Seolah membelai rambut Rosi yang panjang tergerai.
Pohon padi di depan kami terhampar menghijau bagai permadani. Dan puluhan burung
pipit berkejaran diatas permadani alam itu. Kami saling diam, terpesona oleh
keindahan alam ini.
“Alim,
putar lagi dong radionya.”
“Nih,
kamu saja yang cari gelombangnya.” Aku menyerahkan radio sakuku ke Rosi. Dan
Rosipun mencari-cari lagu yang ia senangi. Dan ia berhenti saat mendapatkan
sebuah lagu dari Memes, Terlanjur Sayang.
MEMES – TERLANJUR SAYANG
Membawa dirikupun percaya
Memberikan hatiku
Hanya kepada dirimu slamanya
Sampai kapan jua
Menjaga sgala rasamu
Agar dirimu selalu merasa
Akan cinta kita
Apakah diriku yang bersalah
Hingga pisah di depan mata
Tetapi diriku masih
Tetap cinta kamu kasih slamanya
Sampai kapan jua
Menjaga cinta kita
Agar tetap di tempatnya sehingga
Takkan sampai punah
Seribu ragu yang kian menyerang
Tapi diriku terlanjur sayang
Walau arah mata angin melawan
Tapi ku bertahan dan kuberjalan
Santun berkata kaupun menanyakan
Mengapa cinta dipertahankan
Tetapi haruskah dipertanyakan
Bila kuterlanjur kuterlanjur sayang
Tengah hari, saat matahari sudah meninggi kami pulang. Namun Rosi gak mau kami jalan bareng. Malu, katanya. Tepat di depan gang ia berjalan duluan kemudian aku menyusul di belakangnya.
Bersambung.......