Jumat, 21 Juni 2013

Bunga Mawar Ujung gang 2



Maghrib. Sore ini aku datang lebih awal ke musholla. Dan karena aku datang paling awal, maka akulah yg adzan di musholla. Allaahu akbar..... Allaahu akbar....
Tak lama kemudian Rosipun muncul di musholla. Aku senang sekali bisa menatap wajahnya kembali. Ia menatapku sebentar, kemudian pergi menuju tempat air wudhu. Seperti biasanya, ia tampak tenang dan sedikit acuh. Rosi.... sifatnya agak sedikit aneh menurutku. Padahal tadi pagi ia nampak ceria sekali, saat jalan-jalan pagi ke jalan baru. Tapi sekarang ia nampak sedikit acuh. Sungguh, hal itu membuatku semakin penasaran.
Tak lama kemudian Lusipun muncul dengan teman-temannya, Sofia, Imas dan Juju. Memang selama ini aku dekat ama Lusi. Ia orangnya baik, periang, dan ramah. Kulitnya kuning langsat, dengan badan sedikit gemuk. Kalo tertawa suka lepas, sampai badannya ikut terguncang. Suka bicara apa adanya. Ceplas-ceplos. Bila ada teman-teman sedang berkumpul, ia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman. Oleh karena itulah ia banyak disukai teman-teman.
“Hay si ganteng...., kangen nggak ama yayangmu ini?” Imas menggodaku, yang sedang duduk disamping musholla.
“Hus..... apaan sih ?” Kulihat Lusi mencubit pinggang Imas.
“Aduuhh.... ampun sayang.... sakit tahu ???” Imaspun meringis.
“Kamu sih.... ngomong sembarangan saja....” sahut Lusi. Merekapun saling tertawa. Aku sih senyum-senyum saja. Mereka memang suka bercanda. Saat berpapasan dengan Rosi mereka diam. Aku tahu Lusi cs gak suka Rosi. Mereka seperti berseteru. Walau berpapasan mereka tak bertegur sapa.
Selepas maghrib, seperti biasa aku duduk-duduk di beranda rumah Pak Herman, belakang musholla. Rumah Pak Herman amat teduh, dengan pohon jambu air di halamannya. Rumahnya pun menghadap ke sawah.
Tak lama Rosi lewat, hendak pulang ke rumahnya. Wahh.... kesempatan nih, buat pedekate.
“Hay.... mau pulang?” sapaku.
“He-eh... mau pulang dulu,” jawabnya.
“Ngapain? Sebentar lagi juga isya,” aku mencoba mencari alasan agar bisa mengobrol lama dengannya.
“Iya sih.....” jawabnya ragu-ragu.
“Duduk saja disini sebentar nemenin aku, sambil nunggu waktu isya,” aku mencoba mencari dalih.
“Nanti ada yang marah nggak nih?” jawab Rosi.
“Siapa yang marah?” selorohku.
“Ya pacarmu lah.....” ucap Rosi sambil tersenyum manja. Maniiiss... sekali.
“Emang aku punya pacar ?”
“Kali saja. Katanya kamu berpacaran ama Lusi....”
“Siapa bilang? Kami cuman berteman saja, kok!” aku membantah.
“Tapi kalian dekat, kan?”
“Ya.... tapi cuman sebatas teman,” aku beralasan.
“Pada mulanya sih teman, tapi lama-kelamaan bisa lebih dari teman.”
“Jangan ngaco ah.....”
“Maaf ya kalo kamu tersinggung. Jangan marah. Aku cuman bercanda kok,” sahut Rosi manja, kemudian duduk disampingku.
“Alim, tahu nggak... tiap aku mendengar suara kamu adzan, hatiku terasa teriris. Suara adzanmu seperti menyayat hatiku. Tajaaam...... banget.”
“Ah, masa’ sih?”
“Bener, lho.... kenapa ya?” Rosi menatap wajahku. Matanya yang besar dan bulat seperti mengharap jawaban dari diriku.
“Gak tahu.”
“Suara adzanmu panjang meliuk-liuk. Tiap kali mendengar kamu adzan, aku mencoba menahan nafas. Huuff... sampe aku gak kuat menahannya....”
“Maksudnya? Aku gak ngerti...”
“Kata nenekku, kalo kamu ingin suaranya kuat saat mengaji, kamu harus belajar mengolah nafas. Caranya, dengan menahan nafas saat mendengar suara adzan. Dan melepaskan udara saat selesai adzan. Sungguh, aku tak kuat menahan nafas saat kau adzan. Nafasmu begitu panjang.”
“Oh ya? Mungkin karena aku tidak merokok dan rajin berolah raga,” aku memberi penjelasan.
“Alim, terima kasih ya mau nemenin aku jalan-jalan kemarin pagi.”
“He-eh,” sahutku. Padahal aku juga senang banget bisa berjalan bareng ama Rosi yang cantik dan manis.
“Besok kamu punya acara nggak?”
“Besok pagi? Gak ada... paling nyuci baju doang.”
“Besok kita jalan-jalan lagi yuk!”
Wow.... aku girang banget Rosi mau ngajak aku jalan-jalan lagi.
“Sehabis subuh seperti kemarin?”
“Jangan habis subuh. Sekitar jam 8 pagi. Soalnya pagi-pagi juga aku mau nyuci pakaian dulu.”
“Boleh.”
“Aku tunggu di depan gang ya!?”
“Boleh!” sahutku. Wow, kesempatan lagi nih bisa dekat ama Rosi. Aku seneng banget. Yes! Yes! yes!!!


Pagi, jam 7:45. Semua pekerjaanku sudah beres. Nyuci baju, sepatu, ngepel sudah aku selesaikan. Cepat-cepat aku berjalan menuju depan gang. Dan tak berapa lama ku lihat Rosipun sedang berjalan, kira-kira 50 meter dibelakangku. Rosi memakai kaos kuning dan celana pendek warna coklat. Ia memberi isyarat agar aku berjalan duluan. Saat aku menyeberang jalan, Rosi kemudian menyusulku sambil berjalan agak cepat. Dan tak lama kamipun berjalan beriringan.
“Hay... sudah beres pekerjaanmu?” sapaku.
“Sudah....” jawab Rosi.
Rosi merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan beberapa butir permen.
“Mau?”
“Boleh,” aku mengambil sebutir permen.
“Aku membawa radio kecil pemberian nenekku,” ucapku.
“Oh ya?”
“Ya,” jawabku sambil mengeluarkan radio kecil di sakuku.
“Cariin aku lagu dong,” pinta Rosi.
Aku mencoba mencari-cari gelombang radio. Dan aku dapat sebuah lagu dari Itang Yunasz.

Klak Klik Kluk (Cinta Pertama) – Itang Yunasz

    Tak tuk, tak tuk terdengar
Langkah berjalan di atas panggung busana
Aduhai gayanya, tampak serasi dengan busananya
Dan sungguh daku jadi suka padanya

      Klak klik, klak klik, klak klik kluk
Kupotret dia, dan kuberikan senyum
Dia pun tersenyum
Membuat hatiku bertambah suka
      Akhirnya aku dapat berkenalan dengan dirinya
Lalu terus ku coba untuk dapat memilikinya

Reff.  Dua bulan lamanya aku dekati dia dengan cinta membara
    Dan dengan sejujurnya kukatakan aku cinta pada dirinya
    Lalu dia berkata, aku juga cinta pada dirimu, cinta pertama...

Kami terus berjalan menyusuri jalan baru. Jalannya sepi. Maklum, dulu jalan ini hanya sebuah jalan setapak di tengah sawah. Kiri-kanan jalan hanya tampak pohon mangga dan pohon widara. Angin berhembus agak keras. Maklum, areal persawahan. Angin yang keras kadang mengacaukan rambut Rosi yang panjang tergerai. Rosi tampak sesekali membereskan rambutnya.
“Alim, kita balap lari yuk... itung-itung olah raga,” ajak Rosi.
“Boleh. Saya hitung sampai 3 ya?” kataku.
“Jangan kamu yang menghitung. Aku saja. Awas ya, 1.... 2...,” belum sampai hitungan ke-3, Rosi sudah lari duluan.
“Iiihh... kamu curang!” teriakku. Cepat-cepat aku lari menyusulnya. Rosi tampak tertawa
“Aliiimmm..... berhenti! Aku capek!” teriak Rosi. Rosi tampak terengah-engah. Maka aku berhenti menunggunya. Dan setelah Rosi agak dekat, eehh..... dia lari lagi mendahului aku.
“Kamu ketipu..... hahahaha...,” Rosipun tertawa-tawa lagi sambil berlari.
“Kamu curaaanngg...... awas ya....,” maka aku pun berlari menyusul Rosi, bahkan mendahuluinya lagi, sehingga Rosi tertinggal beberapa meter dibelakangku. Dan tiba-tiba.....
“Aduh.... Aliimm.... aku jatuh.”
Aku terus berlari. Ah, paling akalnya Rosi lagi nih. Maka aku tidak memperdulikan dan terus berlari.
“Aliiimm.............. tolong akuuu..... serius, aku jatuh beneran.”
Aku berhenti. Aku menoleh ke belakang. Dan kulihat Rosi terjatuh beneran. Kulihat lututnya lecet. Maka segera aku menghampirinya.
“Ini akibat kamu berlaku curang,” ujarku.
“Alim, serius nih. Bantu aku berdiri. Kakiku sakit,” pinta Rosi. Maka aku memegang tangannya dan membantu Rosi berdiri. Tangannya mungil dan halus. Dan kucium lagi aroma wangi khas dari rambutnya. Sebenarnya hatiku agak berdesir juga. Maklum, baru pertama kali ini aku dekat dan menyentuh tangan seorang wanita. Wanitanya cantik lagi. Uhuyy....
“Kamu gak apa-apa?” tanyaku.
“Udah tahu lecet..... dibilang gak apa-apa,” Rosi agak cemberut.
“Laahh... cuman lecet sedikit doang...”
“Tapi kan tetap saja sakit.”
“Tunggu disini sebentar ya..?”
“Mau kemana?”
“Sebentar saja.”
Kulihat dipinggir sawah ada pohon kangkungan. Aku ingat, sewaktu kecil aku sering menggunakan getah pohon kangkungan untuk menghentikan pendarahan atau lecet. Maka aku potong pucuk pohon kangkungan itu. Dan getahnya aku oleskan pada lututnya yang lecet.
“Apakah ini aman?” tanya Rosi.
“Ya pasti aman lah..! Aku sejak kecil udah biasa menggunakan getah pohon kangkungan kalo lecet-lecet.”
Saat mengolesi lutut Rosi, aku mencoba mencuri pandang wajahnya. Matanya besar, bulat dan indah. Bulu alisnya halus, dan hampir menyatu. Bibirnya merah muda. Bentuk bibirnya aneh dan lucu. Bibir bawahnya seolat terbelah dua. Kalau orang jawa bilang, manggis rengat. Dan tak sengaja mata kami beradu. Tahu Rosi juga memandang wajahku aku malu juga. Maka aku fokus lagi pada lututnya.
“Alim... makasih ya?”
“He-eh.” Dan kubantu Rosi berdiri.
“Sebaiknya kita istirahat dulu. Di bawah pohon mangga itu saja. Rimbun dan rindang.”
“He-eh.”
Dan kemudian kami berduapun duduk dibawah pohon mangga yang rimbun. Angin dari sawah berhempus sepoi-sepoi. Seolah membelai rambut Rosi yang panjang tergerai. Pohon padi di depan kami terhampar menghijau bagai permadani. Dan puluhan burung pipit berkejaran diatas permadani alam itu. Kami saling diam, terpesona oleh keindahan alam ini.
“Alim, putar lagi dong radionya.”
“Nih, kamu saja yang cari gelombangnya.” Aku menyerahkan radio sakuku ke Rosi. Dan Rosipun mencari-cari lagu yang ia senangi. Dan ia berhenti saat mendapatkan sebuah lagu dari Memes, Terlanjur Sayang.


MEMES – TERLANJUR SAYANG

Segala cintaku yang kau jala
Membawa dirikupun percaya
Memberikan hatiku
Hanya kepada dirimu slamanya
Sampai kapan jua
Menjaga sgala rasamu
Agar dirimu selalu merasa
Akan cinta kita
Apakah diriku yang bersalah
Hingga pisah di depan mata
Tetapi diriku masih
Tetap cinta kamu kasih slamanya
Sampai kapan jua
Menjaga cinta kita
Agar tetap di tempatnya sehingga
Takkan sampai punah

Seribu ragu yang kian menyerang
Tapi diriku terlanjur sayang
Walau arah mata angin melawan
Tapi ku bertahan dan kuberjalan

Santun berkata kaupun menanyakan
Mengapa cinta dipertahankan
Tetapi haruskah dipertanyakan
Bila kuterlanjur kuterlanjur sayang 




     Tengah hari, saat matahari sudah meninggi kami pulang. Namun Rosi gak mau kami jalan bareng. Malu, katanya. Tepat di depan gang ia berjalan duluan kemudian aku menyusul di belakangnya.

Bersambung.......