Senin, 30 September 2013

Bunga Mawar Ujung Gang 4

     Diantara anak-anak gangku tersiar berita bahwa aku dekat ama Rosi. Gak tahu siapa yg menyebarkan berita ini. Hanya saja akibat berita itu, sekarang sikap Lusi amat berbeda padaku. Ia biasanya periang, dan selalu tersenyum bila bertemu denganku. Namun sejak berita kedekatanku dengan Rosi tersebar diantara ana-anak, sikap Lusi jadi berubah. Saat bertemu di mushollapun ia diam saja. Tak ada senyum. Ia seolah-olah menampakkan sikap tidak suka dengan gosip itu. Jangankan tersenyum atau bicara. menoleh padaku pun tidak. Lusi tampak cemburu.

     Di tempat wudhu, aku mencoba mengajak Lusi bicara.

     "Lusi......." sapaku.

     "Heh?" 

     "Kenapa sih kamu? Kok sikapmu berubah begitu...."

     "Hah? Gak salah tuh...."

     "Maksudnya..?" tanyaku heran.

     "Seharusnya aku yang bertanya itu padamu...." jawab Lusi tanpa ekspresi, tanpa senyum manisnya yang selalu membuat hatiku senang.

     "Maksudmu aku berubah?"

     "Tanya pada hatimu...."

     "Aku rasa aku gak berubah kok..."

     "Menurutmu.... tapi tidak menurut orang lain...."

     "Maksudmu apa sih Lus? Aku gak ngerti...."

     "Tanyalah pada hatimu sendiri.... kalau belum mengerti juga, tanyalah pada teman-temanmu..."

     "Lusi, kamu cemburu pada Rosi, ya?"

     "Gaak.... ngapain aku cemburu..."

     "Kamu cemburu karena aku dekat ama Rosi ya..."

     "Ngapain aku mesti cemburu ama Rosi?" Lusi mendongakkan kepalanya. Nafasnya seperti tertahan. dan jantungnya seperti berdetak amat cepat. Tak ada keceriaan yang biasa aku lihat di wajahnya. ia seperti menahan marah.

     "Lusi, jangan cemburu dong... Aku ama Rosi cuman berteman saja kok... gah lebih."

     "Kalo cuman berteman, ngapain hari minggu naik sepeda berboncengan jalan2 ke sawah.... Ngapain juga berduaan di rumah Pak Herman..." Kulihat nafas Lusi tersengal-sengal. Ia tampak sedang mengendalikan emosinya. 

     "Oh, di rumah Pak Herman itu? Aku cuman membantu Rosi mengerjakan PR nya..." kilahku.

     "Tapi kenapa setiap aku ada PR kamu gak pernah membantuku...."

     "Kamu gak minta aku membantu mengerjakan PRmu. Dan aku rasa kamu pun mampu mengerjakan PR itu sendiri."
     
     "Alasan saja. Supaya kamu bisa dekat ama Rosi, kan?"

     "Lusi, kok kamu gitu sih? Aku kan...."

     "Dah, gak usah banyak alasan! Minggir.... aku mau wudhu. Sebentar lagi adzan. Lagian ini adalah tempat wudhu wanita. Tempat wudhu laki-laki disebelah sana.." Lusi memotong pembicaraanku. Ku lihat sudah banyak jamaah wanita berdatangan hendak wudhu. maka aku cepat2 menyingkir dari situ.

     "Lusi, besok aku mau bicara ama kamu," ucapku sebelum ngeloyor pergi.

     "Terserah. Aku gak peduli."

     "Minggu siang, selepas zhuhur di belakang musholla. Aku tunggu...."

     "Bodo amat....." ucap Lusi sambil cemberut. 

     Tak lama kemudian Rosi muncul. Seperti biasanya, pembawaannya amat tenang. Ia seperti tak terpengaruh berita-berita gosip tentang dirinya. Saat berpapasan dengan Lusipun dia seperti biasa2 saja. Seperti gak ada apa2. Berbeda dengan sikap Lusi yang tampak sinis pada Rosi. 

     Selesai wudhu Lusi langsung masuk musholla. Ku lirik Rosi. Ia tampak acuh saja, seolah kami gak pernah dekat sebelumnya. 

     "Hey.... Ros...."
     
     "Ssstt...." Rosi menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat agar aku jangan bicara. Aku paham maksudnya. Mungkin sudah santer issu kedekatanku ama dia. Dia gak mau issu itu tambah santer lagi. maka dia melarang aku mendekati dan bicara padanya. Hadeuuhh.... 

       ************************************************************

     Minggu siang, saat sholat zhuhur di musholla. Ku lihat Lusi datang tuk sholat berjamaah. Tumben, biasanya dia gak pernah sholat zhuhur berjamaah di musholla. Mungkin dia mau memenuhi ucapanku kemarin.

     Selesai sholat zhuhur, aku menyapu halaman musholla. Lusi menghampiriku.

     "Katanya mau bicara. Ku tunggu di belakang musholla, sekarang, " kata Lusi.

     "Sebentar, ya? Aku nyelesai'in nyapu dulu," jawabku.

     Selesai menyapu, kulihat Lusi duduk sendiri diatas potongan kayu di belakang musholla, menghadap ke sawah. Kulihat siang itu langit amat cerah, gak ada awan. Dan rimbunnya pepohonan serta hembusan angin sawah cukup membuat nyaman di siang hari yang amat terik ini.

     Aku duduk disamping Lusi. Hamparan sawah tampak hijau. Dan dedaunan pohon padi tampak bergoyang-goyang dihembus angin. Kami saling diam, tak ada sepatah kata yang kami ucapkan.

     "Katanya mau bicara, sok ngomong. Kenapa diam saja?" tanya Lusi memecah kesunyian. 

     "Kenapa sih Lus sikap kamu kok berubah padaku," tanyaku pula.

      "Siapa yang berubah? Justru kamu yang berubah. Kamu sekarang malah menjauhi aku, dan semakin dekat saja ama Rosi."

     "Aku ama Rosi cuman berteman saja kok, gak lebih."

     "Itu menurut kamu. Tapi hati orang siapa yang tahu."

     "Kamu cemburu ama Rosi, ya?"

     "Gak. Ngapain aku cemburu......"

     "Kalau kamu gak cemburu, kok intonasi nadanya beda... Gak seperti biasanya...."

     Lusi diam. Sorot matanya jauh menatap di pematang sawah yang luas. 

     "Kamu naksir Rosi, ya...?" nada suara Lusi terdengar amat berat, dan sedikit bergetar. Sepertinya dia sedang menahan perasaannya yang sedang bergejolak.

     Aku terdiam. Dalam hati aku mengakui, kalau aku naksir ama Rosi. Namun aku juga naksir ama Lusi. Dan diantara mereka amat berat bagiku untuk memilih. Lusi orangnya baik padaku. Kulitnya putih bersih. Ketawanya lepas. Dan ia selalu jujur, tak pernah berkata bohong, dan bicara seadanya. Dan pada Rosi, memang aku belum lama dekat padanya. Aku belum begitu mengenal sifatnya. Namun sikap Rosi yang aneh, acuh dan misterius, sungguh membuat aku penasaran, ingin mengenal dia lebih dekat.

     "Kok diam saja? Benar kan kata orang2, kalo kamu naksir ama Rosi?"  tanya Lusi kembali, membuyarkan fikiranku.

     "Lusi..... kuakui, kamu amat baik bagiku. Diantara semua gadis, kamulah yang paling perhatian padaku. Dan tak kutemui orang yang baik dan perhatian sepertimu. Dan Rosi, aku memang belum lama dekat dengan dia. Akupun belum mengenal sifat2nya."

     "Lalu....?"

     "Menurutmu, Rosi itu gimana sih? Kamu kan waktu SD bareng sama dia."

     "Memang aku ama Rosi waktu SD sekolah bareng. Dia itu sifatnya jelek, angkuh, dan acuh. Makanya teman2 gak ada yang dekat padanya. Coba saja perhatikan. Bila teman2 pada kumpul2 bermain, dia gak pernah ikut nimbrung. Begitu pula dengan orang tuanya. Tahu sendiri kan, ortunya gak pernah main, atau sekedar silaturahmi ke tetangganya. Waktunya lebih banyak di dalam rumah."

     "Ya, aku perhatikan juga begitu."

     "Terus, bagaimana...?"

     "Bagaimana apanya? "tanyaku pura-pura nggak tahu.

     "Tentang kita....., " kata Lusi sambil menunduk. 

     Kuperhatikan wajahnya. Sepertinya dia sedang menantikan sebuah jawaban kepastian dariku.

     "Lusi, kamu amat baik padaku. Maukah engkau jadi pacarku?" 

     Tiba-tiba es yang semula beku jadi mencair. Wajah Lusi yang semula murung terlihat cerah. Kulihat kembali senyumnya yang manis, semanis madu. Cerah secerah siang hari yang tanpa mendung. Lusi berusaha menyembunyikan perasaan gembiranya. Namun hati gak bisa dibohongi. 

     "Lusi, maukah kamu jadi pacarku?" kataku mengulang.

     Lusi menganggukan kepalanya, sambil tersenyum manis. Duh, bahagianya hati ini, melihat senyum Lusi kembali. Ingin aku memegang tangannya, atau mengecup keningnya. Namun aku gak berani. Takut.....

Bersambung...........