Jumat, 14 September 2012

Tuhan, Ijinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran (Bagian 3)

           TAMU DARI KAMPUNG, MALAPETAKA ATAU UJIAN?


 Semakin tinggi kita menaiki pohon, semakin besar angin yang menerpa


     Sore,  pulang kerja. Aku lihat bapak dan ibu sedang duduk saling berhadapan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi. Suaranya pelan sekali, sedikit berbisik. Sepertinya ada sesuatu hal penting yang sedang mereka bicarakan. Ekspresi wajah mereka kadang tegang. Ada apa, sih? Serius amat! Namun aku gak peduli. Mana perut udah laper..... Makan dulu, ah.... mandi mah belakangan.....

 

     Selesai mandi bapak memanggilku. Ibu duduk disamping bapak.

     "Sini duduk dulu.... bapak mau bicara."

     "Ada apa sih, pak..! Kok serius banget."

     "Ada hal penting yang ingin bapak bicarakan."

     Aku duduk berhadapan dengan bapak. Wajah bapak dan ibu nampak sedikit tegang. Sepertinya mereka habis mendiskusikan hal yang amat penting. Itu aku lihat di raut wajah mereka.

     "Tadi pagi bapak kedatangan 2 orang tamu dari kampung, sekampung ama nenek. " Bapak diam sebentar, lalu meneruskan. "Sebenarnya sih mereka masih ada hubungan famili ama bapak, walau jauh. Mereka hendak belanja ke pasar, tapi mampir dulu kesini. Mereka sempet kaget, kok sepi amat rumahnya? Lha, emangnya harus gimana, bi? Kan mau ada acara pernikahan! Bapak kaget juga. Emang siapa yang mau nikah? Lha, si Alim kan, yang mau nikah ama keponakan saya. Justru saya mampir kesini hendak belanja ke pasar untuk acara resepsinya. Sekalian silaturahmi, lah. Makanya saya kaget, kok sepi amat...."

     Darrr!!!!! Bagai disambar geledek aku kaget juga. "Apa, pak?"

     "Tenang..... duduk dulu... " bapak berupaya menenangkan aku. "Bapak belum selesai bicara.... Terus bapak tanya pada tamu itu, siapa yang melamar? Mak Darinah (nenek saya, maksudnya) jawabnya. Dan sebagai bukti bibi itu memberikan surat undangan yang sudah jadi dan tinggal dibagikan ke para tetangga dan saudara. Dan di surat undangan itu tercantum pula namaku dan nama calon mempelai wanita. Masya Allah... Bapak dan ibu benar-benar kaget bercampur kesal. Dulu bapak dan ibu juga dijodohin nenek, padahal bapak waktu itu sudah punya calon sendiri, begitupun juga ibu. Dan peristiwa itu ternyata terulang padaku. Betul-betul bapak ban ibu marah pada nenek."

     "Sebenarnya bisa saja bapak membatalkan lamaran itu, karena bapak dan ibu sebagai orang tua tidak diberitahu. Lamaran itu hanya satu pihak, jadi ada alasan untuk menolaknya. Tapi bapak tidak mungkin membatalkan akad nikahnya. Kenapa? Coba bayangkan sendiri! Undangan sudah dibuat, hari H sudah ditentukan. Andai bapak membatalkan acaranya, betapa terpukul dan malunya keluarga dia. Kita juga harus mengerti perasaan orang. Bagaimana menurutmu?"

      Aku diam saja. betul-betul bagai makan buah simalakama.

     "Saran dari bapak, sudah jalanin saja dulu... toh kalo gak cocok, kamu bisa menceraikan dia....

 Ini adalah ujian buat kamu. Bukankah kamu sendiri pernah bilang, bahwa kamu ingin meningkatkan imanmu? Seseorang tidak akan dikatakan beriman, sebelum Allah mengujinya. Semakin tinggi kita menaiki pohon, semakin besar angin yang menerpa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sulit ujiannya. Inilah kesempatanmu. Kalau kamu ingin soal ujianya gampang, ya jadi anak SD saja..."

     "Andai kamu jadi nikah sama dia, secara tidak langsung akan membawa perubahan yang lebih baik pada keluarganya. Mudah-mudahan keluarganya mau sholat. Dan bisa membendung kebiasaan kakaknya yang suka berjudi. Pokoknya mengikis hal jelek yang ada pada keluarga itu. Secara tidak langsung kamu berdakwah."

     Aku terdiam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sedih? Kesal? Sudah pasti... Tiba-tiba saja aku ingat Esih. Dan aku juga ingat peristiwa di masjid saat aku jarang pulang. Hay.... inikah arti bayangan pintu itu? Ternyata benar dugaanku, bahwa sudah dekat waktuku untuk menikah. Dan selama ini aku menduga, Esihlah wanita itu, walau diriku sendiri kurang yakin. Dan aku ingat ucapan Pak Ustadz saat aku mengaji. 

     Rasulullah telah bersabda : ”Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau”

     Dan sepertinya hadits diatas tidak berlaku padaku. Karena menurut ayahku, gadis itu tidak kaya, kalo tidak dikatakan miskin. Wajahnya tidak begitu cantik, bila dibandingkan dengan Esih. Nasabnya? Dia berasal dari keluarga broken home alias keluarga berantakan. Sejak dia masih kecil, ia ditinggal bersama ibunya karena bapaknya tergoda wanita lain. Ia terpaksa putus sekolah sejak keluar SD, karena tak ada yang membiayai untuk melanjutkan ke SMP. Untuk menyambung hidup, ia sejak kecil terpaksa membantu ibunya menjadi buruh tani. Salah seorang kakaknya suka berjudi. Dan keluarganya tak ada yang sholat. Islamnya sebatas KTP doang. Amat jauh bila dibandingkan ama Esih yang cantik, sholeh, keluarga terpandang, berada. Ayahnya adalah tokoh masyarakat. Pendidikannya? So pasti dia sarjana.

     Ya Allah, kenapa Kau uji aku dengan ujian seberat ini?

     Tiba-tiba saja aku ingat pelajaran saat aku mengaji ama almarhum Pak Kyai Maksudi dulu. Bahwasanya kita mesti berbaik sangka kepada Allah. Berbaik sangka kepada Allah, merupakan salah satu dari beberapa maqam yaqin.

      "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (QS Al Baqarah: 216).

     Ya Allah, jangan biarkan aku termasuk orang yang su'uzhan, yaitu orang yang berburuk sangka kepada-Mu. Karena aku tahu, bahwa Engkau sedang merencanakan sesuatu kepadaku.

     Seperti hari-hari kemarin, aku tidur di masjid. Di masjid aku merasa tenang. Dan aku adukan semua permasalahanku pada Allah. Dia-lah yang membuat permasalahan. Dan jika aku tak sanggup memikulnya, maka masalah itu aku kembalikan pada pemiliknya, yaitu Allah SWT. Maka bebanku jadi berkurang. Dan tentang permasalahanku ini, aku merahasiakannya pada teman-temanku. 

   
                                                              PERTEMUAN           


     Hari ini bapak mengajakku menemui gadis calon istriku. Dan saat itulah aku baru pertama kali melihat wajahnya. Di banding Esih, jelas kalah cantik. Pakaiannya pun seperti gadis desa kebanyakan. Rambutnya panjang sampai pantatnya. Raut wajahnya masih polos dan lugu. Namanya Imah. Dan akupun mengundang dia untuk datang ke rumahku, sekaligus mengukur cincin buat mas kawin. Lucu juga ya, setelah acara lamaran baru aku dipertemukan dengan calon istriku. Sebelumnya buta, meraba-raba seperti apa wajah dan bentuk tubuhnya.

     3 hari kemudian Imah datang ke rumah diantar bibi dan keponakannya, sekaligus mengukur cincin. Ini adalah pertemuan keduaku dengan calon istriku. Dia pun aku perkenalkan dengan kakekku, dari pihak ibu.

     Malam saat mengaji di musholla, aku mengajak teman-teman untuk datang ke rumahku malam Minggu besok. mereka juga sempat heran dan curiga.

     "Ada apa sih? Kan kita sudah biasa ngumpul tiap pulang mengaji, " Ayat bertanya kepadaku.

     "Iya.... ada apa sih? Curiga, nih.........." Didi menimpali.

     "Hahahahahaha..... sepertinya aku tahu...." Ahmad tertawa. Ya, dia kemarin melihat aku membonceng Imah saat aku hendak memperkenalkan calon istriku pada kakekku. Aku sih senyum-senyum saja.

     "Ada acara syukuran di rumah...." jawabku.

     "Rupanya teman kita sudah punya pacar, nih... Kemarin aku melihat dia boncengan ama cewek...." Ahmad tertawa lagi.

     "Nanti aku cerita besok, " kataku.

     Malam minggu aku nggak ngaji. Maklum, di rumah sibuk, banyak tamu, saudara dan family yang datang.

     Tepat jam 9 malam, teman-teman pada datang ke rumah, termasuk pak Ustadz. Mereka kaget juga.

     "Wuih... rame banget... ada acara apa, sih?" teman-teman bertanya padaku. Hanya Pak Ustadz yang senyum-senyum saja. Dia emang sudah aku beritakan tentang hal ini.

     "Syukuran....."

     "Syukuran apa? Curiga nih.... Kamu mau nikah, ya?" tanya Didi. Maka aku ceritakan semua kejadian dari awal. Dan akhirnya mereka mengerti.

     "Akhirnya kesampean juga loe nikah tanpa pacaran. Dijodohin lagi.... hahahahahahahaha.... " mereka semua tertawa.

     "Syukur alhamdulillah, aku bisa terhindar dari maksiat. Gak kaya loe, pacaran maen cipok-cipok.."

     "Hahahahahaha... jaman sekarang sih lumrah, Lim... Kita yang diam, malah ceweknya yang nyosor duluan... hahahahahahaha..." Didi terkekeh-kekeh.

     "Memang susah menjaga iman di jaman sekarang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjaga diri dari perbuatan maksiat," kata Ayat.

     "Hay semua....... ," tiba-tiba terdengar sapaan halus dan manja. Dialah Tika, saudara sepupu ibuku. Karena dia saudara sepupu ibu, maka aku mestinya memanggil dia bibi. Tapi karena usianya lebih muda 5 tahun dibawah usiaku, maka aku sering memanggil namanya saja. Malah Tika yang memanggil aku kakak.

     "Hay Tika.... rupanya kamu nginap disini, ya..... " tanya Ahmad.

     "Iya, nih! Kan besok Kak Alim mau nikah....., " jawab Tika sambil senyum manja.

     "Kalo kamu sendiri kapan, Tik...???" tanya Ahmad. Aku tahu, semua teman-temanku naksir ama Tika. Tika emang cantik, manis dan manja. "Kalo mau nikah ama aku saja, ya......????"

     "Wuuuuuuuu.... maunya...... " Didi menimpali.

     "Saya nggak nolak, kok.!!" seru Ahmad lagi.

     "Saya yang nolak. Mukamu yang jelek nggak cocok bersanding ama Tika. Kalo aku pasti cocok. Iya nggak, Tik?' sahut Didi senyum-senyum sambil mengerlingkan matanya pada Tika.

      "Siapa aja deh, yang penting pengertian pada Tika," jawab Tika manja, dengan senyum manisnya yang khas.

     "Aku pengertian kok ama kamu.... apanya yang kurang?" tanya Ahmad kembali.

     "Kurang ganteng..... Wuahahahahahahahahaha.... " jawab Ayat. Kami semua tertawa.

     "Anjriitt..... gak tau orang lagi pedekate.... " seloroh Ahmad, kesal. Aku tahu, Ahmad biasa diejek ama kami. Dalam hal ejek-mengejek, udah biasa.

     Jam 10 malam, Tika pamit mau tidur. Tapi karena di rumahku penuh banyak tamu, ditambah emang rumahku yang sempit, maka Tika mau nginap di rumah Esih, diantar Ahmad dan Didi.

     Jam 7 pagi Tika sudah sampe ke rumahku lagi. Kali ini dia didampingi Esih. Kulihat Esih salah tingkah. Melihat gelagat ini Ahmad berseloroh. "Pertemuan terakhir, coy..... Nanti siang mah sudah milik orang lain...." Memang Ahmad ngomongnya ama Ayat, padahal maksudnya sih pada Esih. Didi, Ahmad, Rizal dan semua teman-tema yang lain tertawa, mengerti apa maksud Ahmad.

     Minggu pagi, jam 8 utusan dari mempelai wanita datang. Dan tepat jam 9 kami berangkat menuju rumah mempelai wanita.

     Tepat jam 11 acara akad nikah dimulai. Pak Lebe bertanya statusku, apakah masih perjaka tingting? maka saya jawab, "Nggak, Pak Lebe. Saya perjaka tong-tong. Nah kalau dia perawan ting-ting." Kataku menunjuk Imah. Sontan jawabanku ini membuat semua yang hadir tertawa.

     Usai akad nikah semua tamu memberi selamat padaku. Tapi aku tidak melihat Esih. Rupanya dia duduk diluar bersama Tika.

     Usai sholat dzuhur pengiringku pada pulang. Semua pengiringku melambaikan tangan. Tapi aku lihat Esih tidak menoleh padaku sama sekali. Sepertinya dia tak mau melihat wajahku.


                                                      KADO DARI ESIH


     Kini aku tinggal bersama Imah di rumah peninggalan orang tuanya. Maklum, dia hidup sebatang kara. Hanya tiap sore kakak-kakak dan saudara-saudara suka main ke rumah. Maklum, aku belum mengenal Imah. Mereka sengaja mencairkan suasana, agar hubungan kami tidak tegang dan kaku.

     Lewat 5 hari aku main ke rumah orangtuaku. Dan dikamarku tergeletak sebuah kado. Hay, kado dari siapa ini?

     "Itu kado dari Esih. Dia ngasih 4 hari yang lalu," kata ibu sebelum aku bertanya. Maka aku buka isinya. Sebuah sorban warna kuning, bunga mawar plastik beserta vas bunganya. Dan ada secarik kertas didalamnya.

 

     SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU. HANYA INI YANG BISA AKU BERI SEBAGAI KADO PERNIKAHANMU. MUDAH-MUDAHAN BERMANFAAT. 

DARI SOBATMU: ESIH

 

     Aku terharu membaca tulisan itu. Terima kasih, Esih.... kataku dalam hati. Imah memungut kertas itu dari tanganku, dan membacanya. Tapi reaksi Imah biasa saja. Tak tahu dalam hatinya.

     "Dari mantan pacar, ya a....." katanya.

     "Oh, bukan..... dia cuman teman. Tapi kita emang akrab, " jawabku gugup. Imah diam saja.

     Tak lama kemudian nongol Tika.

     "Hay kak Alim, mbak Imah.... duuuhh... penganten baru datang lagi nih ke rumah." sapanya. Cepat-cepat Tika menyambut Imah kemudian saling beradu pipi.

     "Mah, ini Tika, saudara sepupu ibu. Dia tinggal di Karangampel," kataku memperkenalkan.

     "Datang kapan, Tik?," tanyaku.

     "Tadi pagi. Mau belanja ke pasar sekalian main kesini," Kemudian Tika langsung akrab ama Imah. Emang Tika anaknya mudah akrab ama siapa saja.

     Setelah makan siang, Imah membantu ibu nyuci piring. Pada saat itu Tika berkata pelan sambil berbisik.

     "Kak Alim, aku mau bicara sebentar, mumpung mbak Imahnya lagi repot."

     "Apa?" tanyaku heran. Sepertinya ada suatu yang dia rahasiakan.

     "Aku mau cerita. Saat aku nginap di rumah Mbak Esih......"

     "Apa itu...?" tanyaku penasaran.

     "Mbak Esih cerita semuanya. Dia cerita tentang kedekatannya ama Kak Alim. Dia juga cerita kalo dia sebenarnya naksir berat ama Kak Alim. Hanya saja dia suka membohongi diri. Dia gak mau terus terang. Dia itu orangnya munafik."

     "Bukan munafik namanya. Dia hanya menyembunyikan perasaannya..." jawabku membela.

     "Ya semacam itu, lah... Dan setelah tahu Kak Alim mau nikah, dia akhirnya menyesal juga. Kenapa dia tidak dari dulu menerima cinta Kak Alim. Kenapa ia terlalu kukuh pada prinsip, tak mau pacaran sebelum nikah. Makanya dia menolak saat Kak Alim mengutarakan cinta padanya. Bukan karena dia tak cinta sama Kak Alim. Justru dia cinta setengah mati. Hanya saja dia pandai meyembunyikan perasaan dan kukuh pada prinsip. Semalaman kami ngobrol sampai tak tidur sampe pagi. Kulihat dia betul-betul menyesal, sampai dia menangis"

     Hmmm.... pantas, dia tak mau bertemu denganku disaat hari akad nikah, walaupun dia hadir. Pada saat mengiring para tamu pun, wajah Esih tak tampak. Dan saat di mobil, yang lain saling melambaikan tangan, sedang Esih malah tak mau menatap wajahku.

     "Saat pulang itu, Esih tak dapat menyembunyikan perasaannya. Air matanya berlinang, makanya ia tak mau menatap wajah Kak Alim." Tak terasa matakupun berkaca-kaca. Tapi malu juga rasanya kelihatan ama Tika.

     "Ya, mungkin sudah bukan jodohnya, Tik..... " kataku pelan.

     "Mbak Esih malam itu membuat kado buat Kak Alim. Isinya sorban dan bunga mawar. Tahu artinya? Dia berharap sorban itu dipake saat sholat, agar Kak Alim selalu ingat padanya disaat menghadap Allah. Dan bunga mawar merah itu.... tahu sendirilah.... sebagai tanda cinta..."

     Aku terdiam.

    




                                                                  PENUTUP


     "Istriku, aku mau bertanya padamu."

     "Apakah itu wahai suamiku...."

     "Benarkah kamu belum pernah pacaran sebelum kita nikah"

     "Belum....."

     "Sama sekali?"

     "Sama sekali."

     "Belum pernah dijamah laki-laki?"

     "Masya Allah, belum pernah."

     "Alhamdulillah, ternyata perjuanganku tidak sia-sia."

     "Perjuangan apa?"

     "Aku pernah bertekad, tak mau pacaran sebelum nikah. Dan akupun akan selalu menjaga gadis yang aku cintai. Tak akan aku jamah walau secuilpun. Dan kini, aku dapatkan engkau gadis yang suci. Alhamdulillah. Tapi katanya engkau pernah dijamah laki-laki."

     "Masya Allah, itu fitnah. Demi Allah, aku belum pernah dijamah laki-laki. Pacaran saja kagak.... Coba katakan siapa laki-laki itu, kalo memang ada.... "

     "Akulah laki-laki itu.... muuaachh..... " Ku cium pipi istriku.

     "Idih, tak tahu malu........"

     "Malu pada siapa? Toh kamu sudah sah jadi istriku"

     "Malu ama yang baca blog ini....."

     "Peduli amat..... toh gak bakal kelihatan...."

     "Tapi mereka pasti bayangin yang nggak-nggak...."

     "Peduli amat......"

     "Sssttt..... tutup pintu dulu, nanti ada yang ngintip......."

Sreettt....... jepret !!!!!



                                                      T A M A T

                           

Tuhan, Ijinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran (Bagian 2)

                                 MENEMBAK ESIH


     Malam minggu pkl 09 WIB, sepulang mengaji, seperti biasa aku mengantar Esih pulang. Biasanya yang ngantar rame-rame. Dan Wahyu-lah yang biasanya berjalan paling depan. Tapi hari ini semua teman-teman pada punya acara masing-masing. Termasuk Wahyu. Hanya aku sendiri yang nganter Esih pulang. Dan kesempatan ini aku manfaatkan buat ngedeketin Esih.

     "Sih....... "

     "Ya.....?????"

     "Boleh aku nanya...???"

     "Apa?" Esih menoleh kepadaku. Suaranya halus dan merduuuuu banget.

     "Bagaimana hubunganmu ama Wahyu.....?"

     "Maksudnya.....????" Esih balik bertanya padaku. Dan matanya tampak memperhatikan raut wajahku. Mencoba membaca isi hatiku.

     "Aku tahu, selama ini Wahyu naksir berat ama kamu."

     "Oooohh...... " Esih membuang pandangannya kedepan, tanpa ekspresi. Sejenak ia diam, tidak segera menjawab pertanyaanku. Kami saling diam. Hanya suara kendaraan lalu-lalang saja yang memecah kesunyain malam itu.

     "Wahyu emang pernah mengutarakan isi hatinya padaku....." Esih mulai buka suara.

     "Jadi kalian...... "

     "Gaaakkk...... ," Esih langsung memotong ucapanku. "Kita berteman aja kok. Wahyu emang orangya baik, pintar....... Tapi aku gak cocok ama sifatnya. Dia orangnya kaku. Suka menang sendiri. Egois. Susah diajak diskusi. Aku lebih suka kita bersahabat saja....."

     Alhamdulillah..... Aku merasa lega. Berarti aku punya peluang nih......

     "Apakah terfikir mau nyari pacar...???"

     "Pacar? Gak.... aku gak suka pacaran.... Pacaran hanya mendekatkan kita pada kemaksiatan.... Pacaran itu mendekati zinah."

     "Bagus..... aku setuju itu..... Tapi pernahkan terfikir buat nyari calon suami...???? "

     "Saat ini aku masih fokus pada kuliah dulu... Aku mau menyelesaikan kuliahku.... "

     "Baguslah......"

     "Emang kenapa.....?" Esih balik bertanya padaku.

     "Kalo kamu mau nyari seorang pendamping, aku bersedia mencalonkan diri...."

     "Apa? Gak salah.....?????" nada suara Esih agak tinggi, seperti memaksa aku untuk berterus terang.

     "Gak... aku gak salah..... "

     "Alasanmu memilih aku kenapa? Karena kecantikanku? Aku gak cantik kok... Dan kalaupun aku cantik, itu sifatnya hanya dhoif. Kecantikan itu tidak kekal.... "

     "Betul sih...."

     "Dan kalaupun jika kamu memilih karena kecantikanku, toh.... bila ada yang lebih cantik pasti akan berpaling.."

     "Gak juga sih..... Itu tergantung orangnya."

     "Terus, alasannya apa? Ibadahku? Ibadah seseorang bisa pasang-surut..."

     "Betul..."

     "Terus, karena apa? Kepintaranku? Masih banyak cewek yang lebih pintar dari aku. Sifatku? Masih banyak  cewek yang tutur kata dan tingkah lakunya yang lebi baik dari aku....."

     Dicecar pertanyaan balik yang bertubi-tubi dari Esih aku bingung juga. Dan sepertinya dia menolak secara halus, biar aku gak tersinggung.

     "Coba deh Alim fikirkan kembali.... Jangan sampai nanti salah pilih... karena pernikahan bukanlah buat coba-coba dan main-main. Pernikahan itu sakral."

     Aku terdiam. Kami saling diam. Dan tak terasa akhirnya kami sudah sampai juga di depan rumahnya.

     "Makasih ya Lim mau mengantar aku... Maaf ya bila perkataanku tadi menyinggung perasaanmu.... Bukan maksudku untuk menyakiti hatimu... Aku hanya ingin nanti kamu mendapatkan gadis yang terbaik buat kamu... "

     "Ya sih...."

     "Jangan cemberut, senyum dong.... Kamu kelihatan lebih ganteng kalo lagi senyum.... " Esih menggodaku. Dan sepertinya dia mencoba memecah kebekuan hatiku. Dia tersenyum manis. Maniiiisss.... sekali. Seperti permen kiss di iklan televisi.

     "Sampai jumpa besok malam. Dadaaaahh...... !!!" Esih melambaikan tangannya. "Mimpi indah ya nanti malam...."

     "Hahahahahaha... oke deh.... met malam. Assalamu alaikum....."

     "Walaikum salam....."

     Esih masuk kedalam rumah. Namun aku masih tertegun di depan rumahnya.

     Tiba-tiba Esih nongol lagi dari dalam rumahnya. Lho..... kok keluar lagi...???

     "Dadaaahhhh..............." Esih melambaikan tangannya, sambil melemparkan senyum manisnya. Iiihh.... Esih, masih tetap saja manja seperti dulu.... Dan kemudian dia pun masuk kembali.

     Sepulang mengantar Esih, seperti biasa aku dan kawan-kawan berkumpul. Kali ini kami berkumpul di rumah Ahmad. Dan tepat jam 1 dini hari kami pun membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Dan seperti hari kemarin, aku gak pulang ke rumah. Aku tidur di masjid lagi. Hatiku benar-benar gundah. Esih menolak cintaku, walau ia berusaha membuat hatiku tidak kecewa. Ya Allah, siapakah dia jodohku.... Pertemukanlah aku dengan dia...

     Aku merasa tentram bila tidur di masjid. Aku bisa bermunajat. Mengadu pada sang khalik tentang segala kegelisahanku. Bukankah kegelisahan itu datangnya dari Allah? Dan aku kembalikan kegelisahan ini pada pemiliknya, sang Maha Pencipta... Biar bebanku tidak berasa berat. Dan seperti hari kemarin, setiap aku berdzikir, memuja Sang Khalik, bayangan pintu itu pun selalu hadir. Dan bayangan pintu itu semakin hari semakin dekat saja. Dan hampir dapat aku raih. Dan setiap aku mencoba meraihnya, bayangan pintu itupun hilang...




     Sabtu. Hari ini aku kerja kena shift siang. Kalo hari sabtu biasanya gak terlalu ramai. Maklum, orang kantor kerjanya setengah hari. Hanya tinggal 3 orang saja di kantor. Aku, Agus partner kerjaku dan seorang satpam.

     Jam 3 sore. Tiba-tiba Esih dan temannya Ratna datang ke kantorku. Kirain ada keperluan, eh.. ternyata cuman mau main saja.

     "Bisa bantu aku, kan Lim.???" tanya Ratna. 

     "Bantu apa?"

     "Ngetik sebentar, bikin proposal"

     "Oooohhh... boleh. Pake aja komputernya."

     Selagi Ratna ngetik, kami bertiga ngobrol. saya, Esih dan Agus. Dan Agus sepertinya senang sekali menggoda Esih.

     "Sih, tangan kamu bagus. Bulu-bulu tangannya halus... " Si Agus tiba-tiba saja mengelus tangan Esih.

     "Hussss....... haram.... bukan muhrim....." Esih cepat-cepat menarik tangannya, kemudian disembunyian dibalik kantong bajunya.

     "Haram kalo gak suka... kalo suka mah harum...."

     "Berani-beraninya pegang-pegang....."

     "Berani dong....."

     "Jangan coba-coba ya..... " Esih mengancam.

     "Gak coba-coba... Sungguhan, kok..."

     "Kamu...... " wajah Esih tampak semakin cemberut.

     " Aduuuhhh.... Esih kalo lagi cemberut tambah manis saja."

     "Berani-beraninya pegang tangan Esih.... Alim saja gak berani...."

     "Alimnya saja yang goblok, kenapa gak mau pegang-pegang.... Hahahahahahahaha..."

     Esih tambah cemberut. Ia sesekali melirik ke aku. Mungkin maksudnya minta pembelaan. Namun aku diam saja. Aku tahu Agus cuma menggoda.

     Biasanya aku merasa senang bila Esih datang berkunjung ke kantorku, walau cuma mampir sebentar. Tapi kali ini aku benar-benar sedang gundah. Biasanya aku suka bercanda ama dia, tapi aku lebih memilih banyak diam. Peristiwa penolakan Esih kemarin malam masih membekas dihatiku. Patah hati jeh..... ceritanya...

     "Kenapa sih Lim, kamu diam saja," Rupanya dari tadi Esih memperhatikan sikapku. "Marah ya sama aku..."

     "Enggak...."

     "Karena ucapanku kemarin malam....???"

     "Enggaaaak... "

     "Maafin ya kalo ucapanku kemarin malam menyinggung perasaanmu...."

     "Enggaaaakkk..... enggak apa-apa kok..."

     "Terus, kenapa?" Wajah Esih tampak memelas, tanda penyesalan.

     "Hoy..... kalo pacaran jangan di kantor....," Agus menyela.

     "Husss...... jangan mengganggu orang lagi pacaran..." Esih menimpali.

     "Nanti saja pacarannya kalo udah pulang..... kan malam minggu...." seloroh Agus sambil tertawa.

     "Ssstt......" sih mengacungkan telunjuk di bibirnya, tanda melarang Agus untuk berbicara.

     "Na, aku bantuin mengetik, ya..?" Esih mencoba membantu Ratna mengetik proposal.

     "Boleh......"

     Ratna beringsut dari tempat duduknya. Kali ini yang mengetik Esih.

     Ratna mendekati aku. Setengah berbisik dia berkata padaku, "Lim, kenap sih kamu kok beda?"

     "Beda apanya, Na...?" Aku balik bertanya.

     "Sikapmu....."

     "Biasa aja kok...." aku membela diri.

     "Aku gak bisa kau bohongi...."

     "Terserah kamu aja deh..... aku emang lagi bete..."

     Aku perhatikan Esih. Hey, apa yang dia ketik? Bukannya membuat proposal, dia malah membuat huruf besar-besar dengan font Word Art, bertuliskan AKU SAYANG KAMU. Apa dia sengaja, atau cuman iseng. Tahu aku memperhatikannya, Esih cepat-cepat menghapus tulisan itu. Kemudian meneruskan mengetik proposalnya.

      Selesai membuat proposal, Ratna pamit pulang, namun Esih tidak.

     "Lim, nanti pulangnya bareng, ya?" Esih meminta jawabanku.

     "Boleh....."

     "Tapi anterin aku pulang ke rumah, ya....."

     "Boleh....." jawabku. Namun nada suara aku rendahkan. Gak semangat.

     Tepat jam 7 malam aku berganti shift. Dan akupun sekalian mengantar Esih pulang. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam. Tidak seperti biasanya, suka bercanda dan tertawa-tawa.


                                                  RESTU SANG GURU


     Minggu, April 2000

     Pagi ini aku mendengar kabar kalau nenekku di kampung sedang sakit. Bersama bapak, dengan mengendarai sepeda motor kami menjenguknya.

     Dalam perjalanan, bapak bertanya padaku.

     "Lim, usiamu kini kan sudah 27 tahun. Apa kamu belum terfikir untuk menikah? Bapak rasa gajimu sudah cukup untuk memberi makan 1 orang (istri, maksudnya)."

     "Keinginan sih ada, Pak... Tapi belum ada calonnya..."

     "Adakah teman wanita yang dekat denganmu?"

     "Ada sih, tapi gak tahu..... gak jelas..."

     "Gak jelas gimana...?"

     "Aku juga heran ama sikapnya. Sepertinya sih dia juga naksir aku, tapi saat saku tembak, dia malah nolak... Bapak mau bantu?"

     "Bantu bagaimana..?"

     "Dia itu orangnya teguh ama prinsip. Dia pernah berkata padaku, kalau dia gak mau pacaran. Pengennya langsung nikah. Alasannya, pacaran itu mendekati zinah. Dan dia sepertinya suka menyembunyikan perasaannya."

     "Nanti bapak bantu.... "

     "Lamarin dia ya pak......"

     "Oke, tapi bapak belum bisa secepatnya. Setidaknya dalam hal lamaran-melamar tentu harus siap mental dan materi."

     Alhamdulillah, ternyata bapakku juga mengerti perasaanku.

     Malam, beberapa bhari kemudian sepulang mengaji biasanya kami kumpul-kumpul. Tapi malam ini aku sedang tidak ada mood. Akupun tidak mengantar Esih pulang. Kan ada Wahyu, pikirku. Dan malam ini aku ingin bertemu dengan guru ngajiku, Pak Ustadz Rofiq, di rumahnya. Mau curhat nih, ceritanya.

     "Pak Ustadz.... aku mau minta tolong nih....."

     "kenapa....?"

     "Pak Ustadz kan kenal ama Pak Haji Affandi."

     "Bapaknya Esih? Emang kenapa?" Pak Ustadz senyum-senyum. Sepertinya dia tahu apa yang ingin aku bicarakan.

     "Pak Ustadz mau kan lamarin Esih buat aku...."

     "Nggak salah? Mestinya yang melamar itu bapak kamu, bukan saya.."

     "Maksud saya, sebagai pembicaraan awal saja. Cuma nanya ke Pak Haji, apakah anaknya sudah punya calon suami atau belum.... Kan Pak Ustadz kenal dekat Pak Haji."

     "Mestinya kamu yang lebih tahu. Kan kamu dekat sama Esih."

     "Susah, Pak Ustadz. Esih itu orangnya gak terbuka. Dia pandai menyembunyikan perasaannya."

     "Terus.... bagaimana dengan Wahyu?" Tiba-tiba Bu Ustadz yang dari tadi sibuk dengan mesin jahitnya ikut nimbrung pembicaraan. "Kayaknya dia juga naksir ama Esih."

     "Emang sih....."

     "Apa Wahyu tahu kalau kamu juga naksir Esih?" tanya Bu Ustadz kembali. "Jangan sampai persahabatan kalian rusak hanya karena gara-gara wanita."

     "Entah...."

     "Pasti dia juga ngerasa... Soalnya selama ini Esih lebih dekat ama kamu," Pak Ustadz menimpali. Bu Ustadz ketawa-ketawa saja.

     "Wahyu juga pernah curhat ke saya soal Esih...." Pak Ustadz memberi kabar.

     "Oooohhh..... terus bagaimana..??" Aku penasaran.

     "Persoalannya sama kayak kamu......"

     "Ooohh... begitu...." sahutku sambil mengangguk-angguk.

     "Saya juga pernah nanya ke Esih, apa dia juga cinta sama Wahyu. Tapi jawabannya tidak. Katanya dia gak suka ama sifat Wahyu yang keras, egois, kaku dan suka membanggakan diri. Terus saya pancing... kalo ama Alim gimana? Kayaknya kalian deket, deh.... Dan Esih hanya diam saja. Kayaknya dia sadar, kalau dia diperebutkan 2 orang sahabat."

     "Ooohh.... begitu...." Dalam hati aku bahagia. Ternyata aku masih ada harapan pada Esih. Maafkan aku, sobat. Aku mengkhinatimu.....

     "Dan kalau disuruh memilih antara kamu dan Wahyu, kayaknya dia lebih memilih kamu..."

     Dalam hati aku bersorak bahagia. Berarti aku masih ada peluang, nih....

     "Oke deh..... nanti kalo ada kesempatan aku mau ngobrol ama Pak Haji" kata Pak Ustadz.

     "Terima kasih, pak Ustadz." Aku girang sekali ada dukungan dari sang guru. Tinggal beberapa langkah lagi sampai tujuan.... Aku cium tangan Pak Ustadz, tanda syukur dan hormatku padanya.

     Satu minggu kemudian aku mendengar kabar dari Pak Ustadz, kalau dia sudah bertemu Pak Haji Affandi. Jawaban dari Pak Haji, dia menanti kedatangan orang tuaku ke rumahnya. Berarti lampu hijau, nih... Satu langkah lagi terlewati....


                                                      BERSAMBUNG                      

Selasa, 11 September 2012

Tuhan, Ijinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran (Bagian 1)


     Malam sabtu, di bulan Februari 1999. Di Musholla Miftahul Huda, Jatibarang begitu ramai terdengar suara anak-anak mengaji. Sekitar 40'an santriwan-santriwati berbagai umur, dari umur 15-20 tahunan sedang mengikuti pelajaran ilmu nahwu dan sharaf yang dibimbing ustadz Rofiq. Mereka tampak khidmat mengikuti pelajaran. Dan sesekali Pak Ustadz menyeling dengan lelucon khasnya, sehingga suasana mengaji tidak begitu tegang.
     Tepat jam 9 malam para santri bubar mengaji. Dan santriwati yang rumahnya jauh biasanya diantar para santriwan sampai rumahnya.
     Malam itu, seperti biasa, sepulang mengaji di musholla kami kumpul-kumpul sambil genjrang-genjreng gitar di depan rumah. Malam ini pas kami berkumpul di depan rumahku. Tak lupa sesajen aku sediakan. Kopi hitam, kacang asin, dan beberapa makanan ringan. Hanya rokok saja yang tidak aku sediakan. Maklum, aku kan bukan perokok. Rokok mah beli sendiri-sendiri saja.....
     Seperti biasa, kami ngobrol ngalor-ngidul. Ujung-ujungnya, pasti deh soal cinta... Soalnya, usia kami kan masih remaja. Usia kami berkisar antara 20-an. Namun yang sering kumpul-kumpul sambil genjrang-genjreng gitar hanya beberapa orang saja. Malam ini kami berlima. Aku, Didi, Ayat, Rizal dan Ahmad. Maklum, kami ini kan pecinta musik. Dan kami biasa rental studio musik buat latihan.
     Diantara kami, Didi dan Rizal-lah yang paling rame kalo bercerita. maklum, mereka kan lebih berpengalaman soal cinta. Didi sudah beberapa kali gonta-ganti pacar, begitu pula Rizal. Kalo dihitung, mungkin udah 4 kali Didi punya pacar. Rizal apalagi, udah 5 kali gonta-ganti pasangan. Hanya mungkin aku yang bego. Baru 2 kali punya pacar. Dan itupun tidak berumur lama. Ama Lusi aku pacaran gak sampe setahun. Ama Rosi yang mungkin agak lamaan. tapi itu pun aku jarang ngapel ke dia. Kalaupun ngapel, aku lebih sering ngobrol ama ortunya, daripada ama Rosi. Emangnya pacaran ama ortunya..... hahahahahahahaha....
     "Waktu aku pacaran ama Dewi dulu, ooouch.... mesraaaaa.... banget! Dewi paling seneng kalo dibelai. Apalagi kalo liat lesung pipitnya.... Auuhh.. gemeeesss....., " cerita Didi.
     "Kalo si Winda, dia paling doyan ngemil. Tiap kami pacaran, pasti deh dia bawa makanan. Chiki, Potato, pokoknya macem-macem, deh..... Tapi untungnya, dia gak pernah minta ditraktir. Kue-kue itu dia bawa sendiri, " cerita Rizal.
     "Mending aku, dong!!! Si Ida pacarku itu orangnya hiper...... Tiap kali berduaan dia gak pernah basa-basi. Dia gak bisa nahan nafsu. Ujung-ujungnya, muach... muach... muach......," cerita Ahmad.
     "Hahahahahahahaha....... ," kami semua tertawa mendegar cerita Ahmad.
     "Kalo kamu sih Lim, gimana?," tanya Ayat.
     "Ya, begitulah...!!!! Tahu sendiri kan, aku pacaran ama Lusi cuman 6 bulan. Ama Rosi, ortunya gak pernah ngijinin kami keluar rumah! jadinya, tiap kali ngapel ya di ruang tamu saja. Ngobrol ngalor-ngidul ama ortu dan adik-adiknya... '' jawabku lirih.
     "Hahahahahahahaha...... ," mereka semua ketawa. "Pacaran aja loe ama ortunya...."
     "Ya habis gimana......, diajak jalan-jalan ortu-nya gak ngijinin...., "jawabku.
     "Cari cara dan strategi dong...... "
     "Caranya.....?????" tanyaku.
     "Kalo emang malam gak bisa diajak keluar, ya siang pacarannya....., " Didi ngasih saran.
     "Siang, emang enak???? Kalo siang sih, kita biasa janjian tiap minggu pagi lari pagi....., " jawabku.
     "Cuman lari pagi doang? Siang mah ya gak bisa bermesraan dong....., " Rizal menimpali.
     "Emang......"
     "Rugiiiii....... pacaran gak cipokan rugiiiiiii..............."
     "Betul..... ciuman dan pelukan kan bumbunya cinta......" Ahmad menimpali.
     "Itu mah bukan bumbu, tapi zinah........"
     "Zinah sedikit kan gak apa-apa..... Asal tobat dan istighfar juga, hilang dosanya...."
     "Betul Lim..... gak ada manusia yang bersih dari dosa. Kiyai juga pasti pernah berbuat khilaf...."
      "Au, ah....... gelap........"
     "Hahahahahahahahahaha...." mereka tertawa lagi.
     "Lagian aku ama Rosi juga udah jauhan....., " aku menggerutu.
     "Putus....?????"
     "Gak jelas......"
                                                       KEGELISAHAN ITU....
                                        
      Malam ini aku rasanya gelisah banget. Entah mengapa. Aku lebih banyak diam. Rasanya seperti ada sesuatu, dan aku sendiri gak tahu apa itu. Dan saat Pak Ustadz menerangkan pelajaran ilmu tafsir Jalalain pun, sepertinya gak masuk fikiranku. Wahai, ada apa gerangan dengan diriku? Seperti ada sesuatu disana yang sedang menungguku. Apakah itu? Para santri yang lain begitu khidmat, tapi aku tidak.
     Sepulang mengaji, seperti biasa kami kumpul-kumpul. kali ini kami berkumpul di rumah Ayat. Dan seperti biasanya, sesaji rutin, kopi dan snack selalu menemani. Malam ini kami ngulik lagu buat latihan besok. Tape recorder kami bawa di teras rumah. Tak lupa sekumpulan koleksi kaset tape kami keluarkan.
     Rumah Ayat terletak diujung gang. Rumahnya menghadap persawahan langsung. Terus terang, rumah Ayat adalah tempat favorit kami berkumpul. Rumahnya teduh, dengan banyak pepohonan rindang di depan rumahnya. Dan angin dari persawahan yang begitu sepoi-sepoi amat menyejukkan.
     "Lu beda amat sih malam ini. Kenapa? Masih mikirin Rosi?" Didi rupanya dari tadi memperhatikan aku.
     "Gak lah yau.... kita emang udah putus kok!"
     "Tapi kayaknya kamu murung banget. Ada apa? Cerita dong! Siapa tahu kami bisa membantu."
     "Aku sendiri gak tahu kenapa. Sepertinya ada sesuatu..... tapi aku sendiri tak tahu apa itu....."
     "Masalah cinta?"
     "Bukan.... tau sendiri aku dah lama putus ama Rosi."
     "Jadi?"
     "Gak tahu......"
     "Penyakit karena cewek obatnya ya cewek lagi..... cari yang baru... Toh santri cewek juga banyak.... Kayaknya diantara mereka ada yang naksir kamu, lho....," Ahmad menyela.
     "Siapa...??????" Tanyaku.
     "He..... apa kamu gak ngerasa...????"
     "Iya, siapa..????"
     "Yang sering kamu antar pulang mengaji...."
     "Esih...?????"
     "Siapa lagi...."
     "Gak lah..... Wahyu kah naksir ama Esih...., " aku mengelak.
     "Tapi dia sepertinya naksir ama kamu...."
     "Gaaakkkk....... aku tak mau... !!! Bisa-bisa rusak hubunganku ama Wahyu! Wahyu juga sahabatku! Jangan jadi pagar makan tanaman... !! Aku tak mau mengkhianati persahabatan kita....!!!"
     "Terserah kamu. Aku cuma ngasih tahu. Dan sepertinya Esih menaruh harapan padamu... "
     "Betul, Lim... sahabat ya sahabat, tapi urusan cinta mah.... lain..... Itu kan urusan hati," Ahmad menimpali.
     "Gak perduli! Kalaupun aku mau ngantar dia pulang sehabis mengaji, itu karena kasihan saja. Masa seorang gadis malam-malam pulang sendirian... "
     "Kayaknya kalian cocok deh.... sama-sama suka puasa sunah Senin-Kamis." Rizal merayu.
     "Mulanya biasa saja.... dari seorang teman jadi sahabat, sering ngantar pulang, sering curhat, akhirnya...... jadi deh..... Hahahahahahahaha.... " Didi mengomentari sambil memetik dawai gitar kesayangannya.
     "Gak, lah.... "
      Dalam hati, memang aku akui Esih adalah santri primadona. Wajahnya sih gak cantik amat. Kulitnya putih bersih. Badannya kurus. Namun pembawaannya amat bersahaja. Selain pintar, solehah, dia juga pandai berbahasa halus. Tutur katanya lembut. Tiap berbicara dengan yang lebih tua usianya, dia suka menggunakan bahasa jawa krama, bahasa jawa terhalus. Saat ini jarang sekali ada anak muda yang menguasai bahasa ini. Walau ia anak seorang tokoh masyarakat yang berpengaruh, serba kecukupan, ia tidak sombong. Ia malah rendah diri. Dan ia juga punya kebiasaan yang sama denganku. Suka puasa sunah Senin-Kamis. Tapi.... ah... sahabatku Wahyu juga naksir dia. Dan sebagai seorang sahabat yang baik aku akan mendukungnya, bukannya menghalanginya.
     "Ngelamun lagi..... " Ayat mengaburkan lamunanku. "Konsentrasi, dong... jangan sampai latihannya gagal...."
     "Nih, rokok.... biar gak galau....."
     "Gak... kan kamu tahu sendiri saya tidak merokok...."
     "Sekali-kali...."
     "Gaakkkk....."
     "Biar gak stress..... Hormati kita dong......"
     "Seharusnya aku yang ngomong begitu. Kan kalian tahu aku gak merokok. Malah seharusnya kalian yang menghormati aku....."
     "Iya deh....." akhirnya teman-teman mau mengerti aku juga.
     "Banci saja ngerokok....... " ujarku.
     "Bener, Lim.... Banci saja ngerokok, apalagi loe yang laki-laki..... hahahahahahahaha..... keceplosan omong loe....."
     Ups.... bener, keceplosan.... aku salah omong.... hahahahahahahahaha.... 
     "Hahahahahaha.... nggak, lah..."
     "Terus rencananya gimana? Cari cewek lain lagi?" tanya Rizal.
     "Aku gak mau pacaran lagi. Pengennya aku, langsung nikah tanpa pacaran."
     "Terus, gimana prosesnya? Orang kan butuh proses dulu. PDKT dulu, pacaran dulu, mengenal pribadi masing-masing, mengenal karakter dan watak masing-masing, menyatukan pandangan, menyatukan visi, menyatukan hati, saling mengisi dan menutupi kekurangan masing-masing."
     "Prosesnya nanti jika sudah nikah."
     "Haaaaaa......hhhhhhhh.......... " Didi, Rizal, Ayat, dan Ahmad spontan kaget. "Yang betul....????? Hahahahahahahaha...... " Mereka serentak tertawa.
     "Emang kenapa...???"
     "Berarti kamu mau kalo dijodohin...?"
     "Why not? Itu lebih baik daripada pacaran yang hanya membawa maksiat."
     "Maksiat sedikit sih wajarlah.... kan manusiawi. Bumbunya orang pacaran kah ciuman... Pacaran gak ciuman, hambar...."
     "Sekarang jaman modern, Lim...bukannya jaman Siti Nurbaya."
     "Iya.... jaman sekarang pelukan ciuman sudah biasa......"
     "Aku gak peduli! Menurutku dijodohin lebih baik, bisa menghindarkan kita dari perbuatan maksiat."
     "Hahahahahahaha... kamu ini ada-ada saja..... kalo gak cocok gimana...???"
     "Emangnya kalo pacaran dulu udah pasti cocok, pasti langgeng? Buktinya ada yang pacaran bertahun-tahun, masih tetap saja cerai....."
     "Itu sih apa orangnya...."
     "Apa gimana?" tanyaku.
     "Kamu ini aneh..... makhluk langka. Mestinya kamu ini hidup dijaman Majapahit...." celoteh Ahmad.
     "Hahahahahahahahahahaha........ " sepontan mereka semua tertawa.
     "Apanya yang lucu?" tanyaku.
     "Ya lucu, bener-bener lucu...... hahahahahahahaha.... Ada manusia primitif hidup dijaman tekhnologi..... hahahahahahaha...."
     "Nggak lucu.... setiap orang berhak mempunyai prinsip...." aku membela diri.
     "Tapi prinsipmu sudak sesuai dengan jaman...." Ayat menimpali.
     "Terserah kalian saja, deh..... Yang penting aku punya prinsip dan keyakinan..."
     Tepat jam 1 dini hari kami bubar, pulang ke rumah masing-masing. Hanya aku bingung. Kalo pulang ke rumah, pasti mengganggu orang yang lagi nyenyak tidur. Maka aku putusin nggak pulang ke rumah. Aku mau tidur di masjid saja. Walau jaraknya agak jauh, tapi disana ramai. Biasanya banyak orang pada tidur di masjid.
     Sesampainya di masjid, aku bergegas ambil air wudhu. Aku tunaikan sholat sunah tahiyatul masjid dulu, kemudian istikharah, ditutup sholat witir. Selesai sholat witir aku dzikir, berdo'a kepada Allah, minta petunjuk, apa yang membuat hatiku gelisah selama ini.
     Saat dzikir, aku merasa aneh. Aku melihat ada pintu di depanku. Jarakku dengan pintu itu sekita 7-8 meter. Aneh, apa maksud adanya pintu itu? Aku terus berdzikir. Dan pintu itu sepertinya semakin lama semakin mendekati aku.
     Tepat jam 3 aku selesai dzikir. Dan daun pintu itupun menghilang dari hadapanku. Dan kulihat orang-orang yang sholat lail di masjid pun sudah mulai tidur. Namun aku betul-betul nggak bisa tidur. Hatiku masih bertanya-tanya, apa maksud dengan adanya daun pintu di hadapanku tadi. Apakah ini suatu petunjuk? Lalu, apa maknanya?
      Hari-hari berikutnya aku semakin sering tidur di masjid. Dan daun pintu itu, setiap kali aku dzikir, semakin lama semakin mendekat. Dan akhirnya aku berkesimpulan, mungkin daun pintu itu maksudnya pintu rumah tangga.. Bukankah aku kini sudah berumur 27 tahun? Usia yang cukup matang untuk berumah tangga. Dan akupun punya target, umur 27 tahun harus nikah. Namun timbul pertanyaan pula dalam hatiku. Siapakah dia calon istriku? Karena sampai sekarang aku belum punya pacar atau calon istri, walau banyak wanita yang dekat dan naksir sama aku. Ya, bagaimana tidak? Menurut mereka, wajahku mirip artis Andre Stinky. Pekerjaan pun aku sudah ada. Esih kah? Karena sampai saat ini hanya dia wanita yang paling dekat dengan aku. Tapi, bagaimana nanti dengan Wahyu? Dia kan sahabatku..... Aku tak mau mengkhianati dan menyakiti hatinya. Aku bukanlah pagar yang suka makan tanaman........

                                                     (BERSAMBUNG)

Senin, 10 September 2012

AL

AL

Wengi iki rembulane surem
Atiku kekathon tambah peteng kemba
Bintang-bintang ndhelik, ndhelik eling Alim
Atiku dadi siji nedhas perih
Lebur musnah tanpa krana

Wengi iki wulane surem, Alim
Nggubel malang saning ati
Tembangana Alim, tembangana Alimku
Kidung suci tenganing wengi

Nganthuk anthu
Siring wengi
Tembangana atiku, ya Alim
Kidung penganthu
Mung kanggo aku

Jatibarang, Agustus 1991