Jumat, 14 September 2012

Tuhan, Ijinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran (Bagian 3)

           TAMU DARI KAMPUNG, MALAPETAKA ATAU UJIAN?


 Semakin tinggi kita menaiki pohon, semakin besar angin yang menerpa


     Sore,  pulang kerja. Aku lihat bapak dan ibu sedang duduk saling berhadapan. Sepertinya mereka sedang berdiskusi. Suaranya pelan sekali, sedikit berbisik. Sepertinya ada sesuatu hal penting yang sedang mereka bicarakan. Ekspresi wajah mereka kadang tegang. Ada apa, sih? Serius amat! Namun aku gak peduli. Mana perut udah laper..... Makan dulu, ah.... mandi mah belakangan.....

 

     Selesai mandi bapak memanggilku. Ibu duduk disamping bapak.

     "Sini duduk dulu.... bapak mau bicara."

     "Ada apa sih, pak..! Kok serius banget."

     "Ada hal penting yang ingin bapak bicarakan."

     Aku duduk berhadapan dengan bapak. Wajah bapak dan ibu nampak sedikit tegang. Sepertinya mereka habis mendiskusikan hal yang amat penting. Itu aku lihat di raut wajah mereka.

     "Tadi pagi bapak kedatangan 2 orang tamu dari kampung, sekampung ama nenek. " Bapak diam sebentar, lalu meneruskan. "Sebenarnya sih mereka masih ada hubungan famili ama bapak, walau jauh. Mereka hendak belanja ke pasar, tapi mampir dulu kesini. Mereka sempet kaget, kok sepi amat rumahnya? Lha, emangnya harus gimana, bi? Kan mau ada acara pernikahan! Bapak kaget juga. Emang siapa yang mau nikah? Lha, si Alim kan, yang mau nikah ama keponakan saya. Justru saya mampir kesini hendak belanja ke pasar untuk acara resepsinya. Sekalian silaturahmi, lah. Makanya saya kaget, kok sepi amat...."

     Darrr!!!!! Bagai disambar geledek aku kaget juga. "Apa, pak?"

     "Tenang..... duduk dulu... " bapak berupaya menenangkan aku. "Bapak belum selesai bicara.... Terus bapak tanya pada tamu itu, siapa yang melamar? Mak Darinah (nenek saya, maksudnya) jawabnya. Dan sebagai bukti bibi itu memberikan surat undangan yang sudah jadi dan tinggal dibagikan ke para tetangga dan saudara. Dan di surat undangan itu tercantum pula namaku dan nama calon mempelai wanita. Masya Allah... Bapak dan ibu benar-benar kaget bercampur kesal. Dulu bapak dan ibu juga dijodohin nenek, padahal bapak waktu itu sudah punya calon sendiri, begitupun juga ibu. Dan peristiwa itu ternyata terulang padaku. Betul-betul bapak ban ibu marah pada nenek."

     "Sebenarnya bisa saja bapak membatalkan lamaran itu, karena bapak dan ibu sebagai orang tua tidak diberitahu. Lamaran itu hanya satu pihak, jadi ada alasan untuk menolaknya. Tapi bapak tidak mungkin membatalkan akad nikahnya. Kenapa? Coba bayangkan sendiri! Undangan sudah dibuat, hari H sudah ditentukan. Andai bapak membatalkan acaranya, betapa terpukul dan malunya keluarga dia. Kita juga harus mengerti perasaan orang. Bagaimana menurutmu?"

      Aku diam saja. betul-betul bagai makan buah simalakama.

     "Saran dari bapak, sudah jalanin saja dulu... toh kalo gak cocok, kamu bisa menceraikan dia....

 Ini adalah ujian buat kamu. Bukankah kamu sendiri pernah bilang, bahwa kamu ingin meningkatkan imanmu? Seseorang tidak akan dikatakan beriman, sebelum Allah mengujinya. Semakin tinggi kita menaiki pohon, semakin besar angin yang menerpa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sulit ujiannya. Inilah kesempatanmu. Kalau kamu ingin soal ujianya gampang, ya jadi anak SD saja..."

     "Andai kamu jadi nikah sama dia, secara tidak langsung akan membawa perubahan yang lebih baik pada keluarganya. Mudah-mudahan keluarganya mau sholat. Dan bisa membendung kebiasaan kakaknya yang suka berjudi. Pokoknya mengikis hal jelek yang ada pada keluarga itu. Secara tidak langsung kamu berdakwah."

     Aku terdiam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sedih? Kesal? Sudah pasti... Tiba-tiba saja aku ingat Esih. Dan aku juga ingat peristiwa di masjid saat aku jarang pulang. Hay.... inikah arti bayangan pintu itu? Ternyata benar dugaanku, bahwa sudah dekat waktuku untuk menikah. Dan selama ini aku menduga, Esihlah wanita itu, walau diriku sendiri kurang yakin. Dan aku ingat ucapan Pak Ustadz saat aku mengaji. 

     Rasulullah telah bersabda : ”Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kecantikannya, karena nasabnya, karena agamanya. Maka pilihlah alasan menikahinya karena agamanya. Kalau tidak maka rugilah engkau”

     Dan sepertinya hadits diatas tidak berlaku padaku. Karena menurut ayahku, gadis itu tidak kaya, kalo tidak dikatakan miskin. Wajahnya tidak begitu cantik, bila dibandingkan dengan Esih. Nasabnya? Dia berasal dari keluarga broken home alias keluarga berantakan. Sejak dia masih kecil, ia ditinggal bersama ibunya karena bapaknya tergoda wanita lain. Ia terpaksa putus sekolah sejak keluar SD, karena tak ada yang membiayai untuk melanjutkan ke SMP. Untuk menyambung hidup, ia sejak kecil terpaksa membantu ibunya menjadi buruh tani. Salah seorang kakaknya suka berjudi. Dan keluarganya tak ada yang sholat. Islamnya sebatas KTP doang. Amat jauh bila dibandingkan ama Esih yang cantik, sholeh, keluarga terpandang, berada. Ayahnya adalah tokoh masyarakat. Pendidikannya? So pasti dia sarjana.

     Ya Allah, kenapa Kau uji aku dengan ujian seberat ini?

     Tiba-tiba saja aku ingat pelajaran saat aku mengaji ama almarhum Pak Kyai Maksudi dulu. Bahwasanya kita mesti berbaik sangka kepada Allah. Berbaik sangka kepada Allah, merupakan salah satu dari beberapa maqam yaqin.

      "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui" (QS Al Baqarah: 216).

     Ya Allah, jangan biarkan aku termasuk orang yang su'uzhan, yaitu orang yang berburuk sangka kepada-Mu. Karena aku tahu, bahwa Engkau sedang merencanakan sesuatu kepadaku.

     Seperti hari-hari kemarin, aku tidur di masjid. Di masjid aku merasa tenang. Dan aku adukan semua permasalahanku pada Allah. Dia-lah yang membuat permasalahan. Dan jika aku tak sanggup memikulnya, maka masalah itu aku kembalikan pada pemiliknya, yaitu Allah SWT. Maka bebanku jadi berkurang. Dan tentang permasalahanku ini, aku merahasiakannya pada teman-temanku. 

   
                                                              PERTEMUAN           


     Hari ini bapak mengajakku menemui gadis calon istriku. Dan saat itulah aku baru pertama kali melihat wajahnya. Di banding Esih, jelas kalah cantik. Pakaiannya pun seperti gadis desa kebanyakan. Rambutnya panjang sampai pantatnya. Raut wajahnya masih polos dan lugu. Namanya Imah. Dan akupun mengundang dia untuk datang ke rumahku, sekaligus mengukur cincin buat mas kawin. Lucu juga ya, setelah acara lamaran baru aku dipertemukan dengan calon istriku. Sebelumnya buta, meraba-raba seperti apa wajah dan bentuk tubuhnya.

     3 hari kemudian Imah datang ke rumah diantar bibi dan keponakannya, sekaligus mengukur cincin. Ini adalah pertemuan keduaku dengan calon istriku. Dia pun aku perkenalkan dengan kakekku, dari pihak ibu.

     Malam saat mengaji di musholla, aku mengajak teman-teman untuk datang ke rumahku malam Minggu besok. mereka juga sempat heran dan curiga.

     "Ada apa sih? Kan kita sudah biasa ngumpul tiap pulang mengaji, " Ayat bertanya kepadaku.

     "Iya.... ada apa sih? Curiga, nih.........." Didi menimpali.

     "Hahahahahaha..... sepertinya aku tahu...." Ahmad tertawa. Ya, dia kemarin melihat aku membonceng Imah saat aku hendak memperkenalkan calon istriku pada kakekku. Aku sih senyum-senyum saja.

     "Ada acara syukuran di rumah...." jawabku.

     "Rupanya teman kita sudah punya pacar, nih... Kemarin aku melihat dia boncengan ama cewek...." Ahmad tertawa lagi.

     "Nanti aku cerita besok, " kataku.

     Malam minggu aku nggak ngaji. Maklum, di rumah sibuk, banyak tamu, saudara dan family yang datang.

     Tepat jam 9 malam, teman-teman pada datang ke rumah, termasuk pak Ustadz. Mereka kaget juga.

     "Wuih... rame banget... ada acara apa, sih?" teman-teman bertanya padaku. Hanya Pak Ustadz yang senyum-senyum saja. Dia emang sudah aku beritakan tentang hal ini.

     "Syukuran....."

     "Syukuran apa? Curiga nih.... Kamu mau nikah, ya?" tanya Didi. Maka aku ceritakan semua kejadian dari awal. Dan akhirnya mereka mengerti.

     "Akhirnya kesampean juga loe nikah tanpa pacaran. Dijodohin lagi.... hahahahahahahaha.... " mereka semua tertawa.

     "Syukur alhamdulillah, aku bisa terhindar dari maksiat. Gak kaya loe, pacaran maen cipok-cipok.."

     "Hahahahahaha... jaman sekarang sih lumrah, Lim... Kita yang diam, malah ceweknya yang nyosor duluan... hahahahahahaha..." Didi terkekeh-kekeh.

     "Memang susah menjaga iman di jaman sekarang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menjaga diri dari perbuatan maksiat," kata Ayat.

     "Hay semua....... ," tiba-tiba terdengar sapaan halus dan manja. Dialah Tika, saudara sepupu ibuku. Karena dia saudara sepupu ibu, maka aku mestinya memanggil dia bibi. Tapi karena usianya lebih muda 5 tahun dibawah usiaku, maka aku sering memanggil namanya saja. Malah Tika yang memanggil aku kakak.

     "Hay Tika.... rupanya kamu nginap disini, ya..... " tanya Ahmad.

     "Iya, nih! Kan besok Kak Alim mau nikah....., " jawab Tika sambil senyum manja.

     "Kalo kamu sendiri kapan, Tik...???" tanya Ahmad. Aku tahu, semua teman-temanku naksir ama Tika. Tika emang cantik, manis dan manja. "Kalo mau nikah ama aku saja, ya......????"

     "Wuuuuuuuu.... maunya...... " Didi menimpali.

     "Saya nggak nolak, kok.!!" seru Ahmad lagi.

     "Saya yang nolak. Mukamu yang jelek nggak cocok bersanding ama Tika. Kalo aku pasti cocok. Iya nggak, Tik?' sahut Didi senyum-senyum sambil mengerlingkan matanya pada Tika.

      "Siapa aja deh, yang penting pengertian pada Tika," jawab Tika manja, dengan senyum manisnya yang khas.

     "Aku pengertian kok ama kamu.... apanya yang kurang?" tanya Ahmad kembali.

     "Kurang ganteng..... Wuahahahahahahahahaha.... " jawab Ayat. Kami semua tertawa.

     "Anjriitt..... gak tau orang lagi pedekate.... " seloroh Ahmad, kesal. Aku tahu, Ahmad biasa diejek ama kami. Dalam hal ejek-mengejek, udah biasa.

     Jam 10 malam, Tika pamit mau tidur. Tapi karena di rumahku penuh banyak tamu, ditambah emang rumahku yang sempit, maka Tika mau nginap di rumah Esih, diantar Ahmad dan Didi.

     Jam 7 pagi Tika sudah sampe ke rumahku lagi. Kali ini dia didampingi Esih. Kulihat Esih salah tingkah. Melihat gelagat ini Ahmad berseloroh. "Pertemuan terakhir, coy..... Nanti siang mah sudah milik orang lain...." Memang Ahmad ngomongnya ama Ayat, padahal maksudnya sih pada Esih. Didi, Ahmad, Rizal dan semua teman-tema yang lain tertawa, mengerti apa maksud Ahmad.

     Minggu pagi, jam 8 utusan dari mempelai wanita datang. Dan tepat jam 9 kami berangkat menuju rumah mempelai wanita.

     Tepat jam 11 acara akad nikah dimulai. Pak Lebe bertanya statusku, apakah masih perjaka tingting? maka saya jawab, "Nggak, Pak Lebe. Saya perjaka tong-tong. Nah kalau dia perawan ting-ting." Kataku menunjuk Imah. Sontan jawabanku ini membuat semua yang hadir tertawa.

     Usai akad nikah semua tamu memberi selamat padaku. Tapi aku tidak melihat Esih. Rupanya dia duduk diluar bersama Tika.

     Usai sholat dzuhur pengiringku pada pulang. Semua pengiringku melambaikan tangan. Tapi aku lihat Esih tidak menoleh padaku sama sekali. Sepertinya dia tak mau melihat wajahku.


                                                      KADO DARI ESIH


     Kini aku tinggal bersama Imah di rumah peninggalan orang tuanya. Maklum, dia hidup sebatang kara. Hanya tiap sore kakak-kakak dan saudara-saudara suka main ke rumah. Maklum, aku belum mengenal Imah. Mereka sengaja mencairkan suasana, agar hubungan kami tidak tegang dan kaku.

     Lewat 5 hari aku main ke rumah orangtuaku. Dan dikamarku tergeletak sebuah kado. Hay, kado dari siapa ini?

     "Itu kado dari Esih. Dia ngasih 4 hari yang lalu," kata ibu sebelum aku bertanya. Maka aku buka isinya. Sebuah sorban warna kuning, bunga mawar plastik beserta vas bunganya. Dan ada secarik kertas didalamnya.

 

     SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU. HANYA INI YANG BISA AKU BERI SEBAGAI KADO PERNIKAHANMU. MUDAH-MUDAHAN BERMANFAAT. 

DARI SOBATMU: ESIH

 

     Aku terharu membaca tulisan itu. Terima kasih, Esih.... kataku dalam hati. Imah memungut kertas itu dari tanganku, dan membacanya. Tapi reaksi Imah biasa saja. Tak tahu dalam hatinya.

     "Dari mantan pacar, ya a....." katanya.

     "Oh, bukan..... dia cuman teman. Tapi kita emang akrab, " jawabku gugup. Imah diam saja.

     Tak lama kemudian nongol Tika.

     "Hay kak Alim, mbak Imah.... duuuhh... penganten baru datang lagi nih ke rumah." sapanya. Cepat-cepat Tika menyambut Imah kemudian saling beradu pipi.

     "Mah, ini Tika, saudara sepupu ibu. Dia tinggal di Karangampel," kataku memperkenalkan.

     "Datang kapan, Tik?," tanyaku.

     "Tadi pagi. Mau belanja ke pasar sekalian main kesini," Kemudian Tika langsung akrab ama Imah. Emang Tika anaknya mudah akrab ama siapa saja.

     Setelah makan siang, Imah membantu ibu nyuci piring. Pada saat itu Tika berkata pelan sambil berbisik.

     "Kak Alim, aku mau bicara sebentar, mumpung mbak Imahnya lagi repot."

     "Apa?" tanyaku heran. Sepertinya ada suatu yang dia rahasiakan.

     "Aku mau cerita. Saat aku nginap di rumah Mbak Esih......"

     "Apa itu...?" tanyaku penasaran.

     "Mbak Esih cerita semuanya. Dia cerita tentang kedekatannya ama Kak Alim. Dia juga cerita kalo dia sebenarnya naksir berat ama Kak Alim. Hanya saja dia suka membohongi diri. Dia gak mau terus terang. Dia itu orangnya munafik."

     "Bukan munafik namanya. Dia hanya menyembunyikan perasaannya..." jawabku membela.

     "Ya semacam itu, lah... Dan setelah tahu Kak Alim mau nikah, dia akhirnya menyesal juga. Kenapa dia tidak dari dulu menerima cinta Kak Alim. Kenapa ia terlalu kukuh pada prinsip, tak mau pacaran sebelum nikah. Makanya dia menolak saat Kak Alim mengutarakan cinta padanya. Bukan karena dia tak cinta sama Kak Alim. Justru dia cinta setengah mati. Hanya saja dia pandai meyembunyikan perasaan dan kukuh pada prinsip. Semalaman kami ngobrol sampai tak tidur sampe pagi. Kulihat dia betul-betul menyesal, sampai dia menangis"

     Hmmm.... pantas, dia tak mau bertemu denganku disaat hari akad nikah, walaupun dia hadir. Pada saat mengiring para tamu pun, wajah Esih tak tampak. Dan saat di mobil, yang lain saling melambaikan tangan, sedang Esih malah tak mau menatap wajahku.

     "Saat pulang itu, Esih tak dapat menyembunyikan perasaannya. Air matanya berlinang, makanya ia tak mau menatap wajah Kak Alim." Tak terasa matakupun berkaca-kaca. Tapi malu juga rasanya kelihatan ama Tika.

     "Ya, mungkin sudah bukan jodohnya, Tik..... " kataku pelan.

     "Mbak Esih malam itu membuat kado buat Kak Alim. Isinya sorban dan bunga mawar. Tahu artinya? Dia berharap sorban itu dipake saat sholat, agar Kak Alim selalu ingat padanya disaat menghadap Allah. Dan bunga mawar merah itu.... tahu sendirilah.... sebagai tanda cinta..."

     Aku terdiam.

    




                                                                  PENUTUP


     "Istriku, aku mau bertanya padamu."

     "Apakah itu wahai suamiku...."

     "Benarkah kamu belum pernah pacaran sebelum kita nikah"

     "Belum....."

     "Sama sekali?"

     "Sama sekali."

     "Belum pernah dijamah laki-laki?"

     "Masya Allah, belum pernah."

     "Alhamdulillah, ternyata perjuanganku tidak sia-sia."

     "Perjuangan apa?"

     "Aku pernah bertekad, tak mau pacaran sebelum nikah. Dan akupun akan selalu menjaga gadis yang aku cintai. Tak akan aku jamah walau secuilpun. Dan kini, aku dapatkan engkau gadis yang suci. Alhamdulillah. Tapi katanya engkau pernah dijamah laki-laki."

     "Masya Allah, itu fitnah. Demi Allah, aku belum pernah dijamah laki-laki. Pacaran saja kagak.... Coba katakan siapa laki-laki itu, kalo memang ada.... "

     "Akulah laki-laki itu.... muuaachh..... " Ku cium pipi istriku.

     "Idih, tak tahu malu........"

     "Malu pada siapa? Toh kamu sudah sah jadi istriku"

     "Malu ama yang baca blog ini....."

     "Peduli amat..... toh gak bakal kelihatan...."

     "Tapi mereka pasti bayangin yang nggak-nggak...."

     "Peduli amat......"

     "Sssttt..... tutup pintu dulu, nanti ada yang ngintip......."

Sreettt....... jepret !!!!!



                                                      T A M A T

                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar