Jumat, 14 September 2012

Tuhan, Ijinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran (Bagian 2)

                                 MENEMBAK ESIH


     Malam minggu pkl 09 WIB, sepulang mengaji, seperti biasa aku mengantar Esih pulang. Biasanya yang ngantar rame-rame. Dan Wahyu-lah yang biasanya berjalan paling depan. Tapi hari ini semua teman-teman pada punya acara masing-masing. Termasuk Wahyu. Hanya aku sendiri yang nganter Esih pulang. Dan kesempatan ini aku manfaatkan buat ngedeketin Esih.

     "Sih....... "

     "Ya.....?????"

     "Boleh aku nanya...???"

     "Apa?" Esih menoleh kepadaku. Suaranya halus dan merduuuuu banget.

     "Bagaimana hubunganmu ama Wahyu.....?"

     "Maksudnya.....????" Esih balik bertanya padaku. Dan matanya tampak memperhatikan raut wajahku. Mencoba membaca isi hatiku.

     "Aku tahu, selama ini Wahyu naksir berat ama kamu."

     "Oooohh...... " Esih membuang pandangannya kedepan, tanpa ekspresi. Sejenak ia diam, tidak segera menjawab pertanyaanku. Kami saling diam. Hanya suara kendaraan lalu-lalang saja yang memecah kesunyain malam itu.

     "Wahyu emang pernah mengutarakan isi hatinya padaku....." Esih mulai buka suara.

     "Jadi kalian...... "

     "Gaaakkk...... ," Esih langsung memotong ucapanku. "Kita berteman aja kok. Wahyu emang orangya baik, pintar....... Tapi aku gak cocok ama sifatnya. Dia orangnya kaku. Suka menang sendiri. Egois. Susah diajak diskusi. Aku lebih suka kita bersahabat saja....."

     Alhamdulillah..... Aku merasa lega. Berarti aku punya peluang nih......

     "Apakah terfikir mau nyari pacar...???"

     "Pacar? Gak.... aku gak suka pacaran.... Pacaran hanya mendekatkan kita pada kemaksiatan.... Pacaran itu mendekati zinah."

     "Bagus..... aku setuju itu..... Tapi pernahkan terfikir buat nyari calon suami...???? "

     "Saat ini aku masih fokus pada kuliah dulu... Aku mau menyelesaikan kuliahku.... "

     "Baguslah......"

     "Emang kenapa.....?" Esih balik bertanya padaku.

     "Kalo kamu mau nyari seorang pendamping, aku bersedia mencalonkan diri...."

     "Apa? Gak salah.....?????" nada suara Esih agak tinggi, seperti memaksa aku untuk berterus terang.

     "Gak... aku gak salah..... "

     "Alasanmu memilih aku kenapa? Karena kecantikanku? Aku gak cantik kok... Dan kalaupun aku cantik, itu sifatnya hanya dhoif. Kecantikan itu tidak kekal.... "

     "Betul sih...."

     "Dan kalaupun jika kamu memilih karena kecantikanku, toh.... bila ada yang lebih cantik pasti akan berpaling.."

     "Gak juga sih..... Itu tergantung orangnya."

     "Terus, alasannya apa? Ibadahku? Ibadah seseorang bisa pasang-surut..."

     "Betul..."

     "Terus, karena apa? Kepintaranku? Masih banyak cewek yang lebih pintar dari aku. Sifatku? Masih banyak  cewek yang tutur kata dan tingkah lakunya yang lebi baik dari aku....."

     Dicecar pertanyaan balik yang bertubi-tubi dari Esih aku bingung juga. Dan sepertinya dia menolak secara halus, biar aku gak tersinggung.

     "Coba deh Alim fikirkan kembali.... Jangan sampai nanti salah pilih... karena pernikahan bukanlah buat coba-coba dan main-main. Pernikahan itu sakral."

     Aku terdiam. Kami saling diam. Dan tak terasa akhirnya kami sudah sampai juga di depan rumahnya.

     "Makasih ya Lim mau mengantar aku... Maaf ya bila perkataanku tadi menyinggung perasaanmu.... Bukan maksudku untuk menyakiti hatimu... Aku hanya ingin nanti kamu mendapatkan gadis yang terbaik buat kamu... "

     "Ya sih...."

     "Jangan cemberut, senyum dong.... Kamu kelihatan lebih ganteng kalo lagi senyum.... " Esih menggodaku. Dan sepertinya dia mencoba memecah kebekuan hatiku. Dia tersenyum manis. Maniiiisss.... sekali. Seperti permen kiss di iklan televisi.

     "Sampai jumpa besok malam. Dadaaaahh...... !!!" Esih melambaikan tangannya. "Mimpi indah ya nanti malam...."

     "Hahahahahaha... oke deh.... met malam. Assalamu alaikum....."

     "Walaikum salam....."

     Esih masuk kedalam rumah. Namun aku masih tertegun di depan rumahnya.

     Tiba-tiba Esih nongol lagi dari dalam rumahnya. Lho..... kok keluar lagi...???

     "Dadaaahhhh..............." Esih melambaikan tangannya, sambil melemparkan senyum manisnya. Iiihh.... Esih, masih tetap saja manja seperti dulu.... Dan kemudian dia pun masuk kembali.

     Sepulang mengantar Esih, seperti biasa aku dan kawan-kawan berkumpul. Kali ini kami berkumpul di rumah Ahmad. Dan tepat jam 1 dini hari kami pun membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Dan seperti hari kemarin, aku gak pulang ke rumah. Aku tidur di masjid lagi. Hatiku benar-benar gundah. Esih menolak cintaku, walau ia berusaha membuat hatiku tidak kecewa. Ya Allah, siapakah dia jodohku.... Pertemukanlah aku dengan dia...

     Aku merasa tentram bila tidur di masjid. Aku bisa bermunajat. Mengadu pada sang khalik tentang segala kegelisahanku. Bukankah kegelisahan itu datangnya dari Allah? Dan aku kembalikan kegelisahan ini pada pemiliknya, sang Maha Pencipta... Biar bebanku tidak berasa berat. Dan seperti hari kemarin, setiap aku berdzikir, memuja Sang Khalik, bayangan pintu itu pun selalu hadir. Dan bayangan pintu itu semakin hari semakin dekat saja. Dan hampir dapat aku raih. Dan setiap aku mencoba meraihnya, bayangan pintu itupun hilang...




     Sabtu. Hari ini aku kerja kena shift siang. Kalo hari sabtu biasanya gak terlalu ramai. Maklum, orang kantor kerjanya setengah hari. Hanya tinggal 3 orang saja di kantor. Aku, Agus partner kerjaku dan seorang satpam.

     Jam 3 sore. Tiba-tiba Esih dan temannya Ratna datang ke kantorku. Kirain ada keperluan, eh.. ternyata cuman mau main saja.

     "Bisa bantu aku, kan Lim.???" tanya Ratna. 

     "Bantu apa?"

     "Ngetik sebentar, bikin proposal"

     "Oooohhh... boleh. Pake aja komputernya."

     Selagi Ratna ngetik, kami bertiga ngobrol. saya, Esih dan Agus. Dan Agus sepertinya senang sekali menggoda Esih.

     "Sih, tangan kamu bagus. Bulu-bulu tangannya halus... " Si Agus tiba-tiba saja mengelus tangan Esih.

     "Hussss....... haram.... bukan muhrim....." Esih cepat-cepat menarik tangannya, kemudian disembunyian dibalik kantong bajunya.

     "Haram kalo gak suka... kalo suka mah harum...."

     "Berani-beraninya pegang-pegang....."

     "Berani dong....."

     "Jangan coba-coba ya..... " Esih mengancam.

     "Gak coba-coba... Sungguhan, kok..."

     "Kamu...... " wajah Esih tampak semakin cemberut.

     " Aduuuhhh.... Esih kalo lagi cemberut tambah manis saja."

     "Berani-beraninya pegang tangan Esih.... Alim saja gak berani...."

     "Alimnya saja yang goblok, kenapa gak mau pegang-pegang.... Hahahahahahahaha..."

     Esih tambah cemberut. Ia sesekali melirik ke aku. Mungkin maksudnya minta pembelaan. Namun aku diam saja. Aku tahu Agus cuma menggoda.

     Biasanya aku merasa senang bila Esih datang berkunjung ke kantorku, walau cuma mampir sebentar. Tapi kali ini aku benar-benar sedang gundah. Biasanya aku suka bercanda ama dia, tapi aku lebih memilih banyak diam. Peristiwa penolakan Esih kemarin malam masih membekas dihatiku. Patah hati jeh..... ceritanya...

     "Kenapa sih Lim, kamu diam saja," Rupanya dari tadi Esih memperhatikan sikapku. "Marah ya sama aku..."

     "Enggak...."

     "Karena ucapanku kemarin malam....???"

     "Enggaaaak... "

     "Maafin ya kalo ucapanku kemarin malam menyinggung perasaanmu...."

     "Enggaaaakkk..... enggak apa-apa kok..."

     "Terus, kenapa?" Wajah Esih tampak memelas, tanda penyesalan.

     "Hoy..... kalo pacaran jangan di kantor....," Agus menyela.

     "Husss...... jangan mengganggu orang lagi pacaran..." Esih menimpali.

     "Nanti saja pacarannya kalo udah pulang..... kan malam minggu...." seloroh Agus sambil tertawa.

     "Ssstt......" sih mengacungkan telunjuk di bibirnya, tanda melarang Agus untuk berbicara.

     "Na, aku bantuin mengetik, ya..?" Esih mencoba membantu Ratna mengetik proposal.

     "Boleh......"

     Ratna beringsut dari tempat duduknya. Kali ini yang mengetik Esih.

     Ratna mendekati aku. Setengah berbisik dia berkata padaku, "Lim, kenap sih kamu kok beda?"

     "Beda apanya, Na...?" Aku balik bertanya.

     "Sikapmu....."

     "Biasa aja kok...." aku membela diri.

     "Aku gak bisa kau bohongi...."

     "Terserah kamu aja deh..... aku emang lagi bete..."

     Aku perhatikan Esih. Hey, apa yang dia ketik? Bukannya membuat proposal, dia malah membuat huruf besar-besar dengan font Word Art, bertuliskan AKU SAYANG KAMU. Apa dia sengaja, atau cuman iseng. Tahu aku memperhatikannya, Esih cepat-cepat menghapus tulisan itu. Kemudian meneruskan mengetik proposalnya.

      Selesai membuat proposal, Ratna pamit pulang, namun Esih tidak.

     "Lim, nanti pulangnya bareng, ya?" Esih meminta jawabanku.

     "Boleh....."

     "Tapi anterin aku pulang ke rumah, ya....."

     "Boleh....." jawabku. Namun nada suara aku rendahkan. Gak semangat.

     Tepat jam 7 malam aku berganti shift. Dan akupun sekalian mengantar Esih pulang. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam. Tidak seperti biasanya, suka bercanda dan tertawa-tawa.


                                                  RESTU SANG GURU


     Minggu, April 2000

     Pagi ini aku mendengar kabar kalau nenekku di kampung sedang sakit. Bersama bapak, dengan mengendarai sepeda motor kami menjenguknya.

     Dalam perjalanan, bapak bertanya padaku.

     "Lim, usiamu kini kan sudah 27 tahun. Apa kamu belum terfikir untuk menikah? Bapak rasa gajimu sudah cukup untuk memberi makan 1 orang (istri, maksudnya)."

     "Keinginan sih ada, Pak... Tapi belum ada calonnya..."

     "Adakah teman wanita yang dekat denganmu?"

     "Ada sih, tapi gak tahu..... gak jelas..."

     "Gak jelas gimana...?"

     "Aku juga heran ama sikapnya. Sepertinya sih dia juga naksir aku, tapi saat saku tembak, dia malah nolak... Bapak mau bantu?"

     "Bantu bagaimana..?"

     "Dia itu orangnya teguh ama prinsip. Dia pernah berkata padaku, kalau dia gak mau pacaran. Pengennya langsung nikah. Alasannya, pacaran itu mendekati zinah. Dan dia sepertinya suka menyembunyikan perasaannya."

     "Nanti bapak bantu.... "

     "Lamarin dia ya pak......"

     "Oke, tapi bapak belum bisa secepatnya. Setidaknya dalam hal lamaran-melamar tentu harus siap mental dan materi."

     Alhamdulillah, ternyata bapakku juga mengerti perasaanku.

     Malam, beberapa bhari kemudian sepulang mengaji biasanya kami kumpul-kumpul. Tapi malam ini aku sedang tidak ada mood. Akupun tidak mengantar Esih pulang. Kan ada Wahyu, pikirku. Dan malam ini aku ingin bertemu dengan guru ngajiku, Pak Ustadz Rofiq, di rumahnya. Mau curhat nih, ceritanya.

     "Pak Ustadz.... aku mau minta tolong nih....."

     "kenapa....?"

     "Pak Ustadz kan kenal ama Pak Haji Affandi."

     "Bapaknya Esih? Emang kenapa?" Pak Ustadz senyum-senyum. Sepertinya dia tahu apa yang ingin aku bicarakan.

     "Pak Ustadz mau kan lamarin Esih buat aku...."

     "Nggak salah? Mestinya yang melamar itu bapak kamu, bukan saya.."

     "Maksud saya, sebagai pembicaraan awal saja. Cuma nanya ke Pak Haji, apakah anaknya sudah punya calon suami atau belum.... Kan Pak Ustadz kenal dekat Pak Haji."

     "Mestinya kamu yang lebih tahu. Kan kamu dekat sama Esih."

     "Susah, Pak Ustadz. Esih itu orangnya gak terbuka. Dia pandai menyembunyikan perasaannya."

     "Terus.... bagaimana dengan Wahyu?" Tiba-tiba Bu Ustadz yang dari tadi sibuk dengan mesin jahitnya ikut nimbrung pembicaraan. "Kayaknya dia juga naksir ama Esih."

     "Emang sih....."

     "Apa Wahyu tahu kalau kamu juga naksir Esih?" tanya Bu Ustadz kembali. "Jangan sampai persahabatan kalian rusak hanya karena gara-gara wanita."

     "Entah...."

     "Pasti dia juga ngerasa... Soalnya selama ini Esih lebih dekat ama kamu," Pak Ustadz menimpali. Bu Ustadz ketawa-ketawa saja.

     "Wahyu juga pernah curhat ke saya soal Esih...." Pak Ustadz memberi kabar.

     "Oooohhh..... terus bagaimana..??" Aku penasaran.

     "Persoalannya sama kayak kamu......"

     "Ooohh... begitu...." sahutku sambil mengangguk-angguk.

     "Saya juga pernah nanya ke Esih, apa dia juga cinta sama Wahyu. Tapi jawabannya tidak. Katanya dia gak suka ama sifat Wahyu yang keras, egois, kaku dan suka membanggakan diri. Terus saya pancing... kalo ama Alim gimana? Kayaknya kalian deket, deh.... Dan Esih hanya diam saja. Kayaknya dia sadar, kalau dia diperebutkan 2 orang sahabat."

     "Ooohh.... begitu...." Dalam hati aku bahagia. Ternyata aku masih ada harapan pada Esih. Maafkan aku, sobat. Aku mengkhinatimu.....

     "Dan kalau disuruh memilih antara kamu dan Wahyu, kayaknya dia lebih memilih kamu..."

     Dalam hati aku bersorak bahagia. Berarti aku masih ada peluang, nih....

     "Oke deh..... nanti kalo ada kesempatan aku mau ngobrol ama Pak Haji" kata Pak Ustadz.

     "Terima kasih, pak Ustadz." Aku girang sekali ada dukungan dari sang guru. Tinggal beberapa langkah lagi sampai tujuan.... Aku cium tangan Pak Ustadz, tanda syukur dan hormatku padanya.

     Satu minggu kemudian aku mendengar kabar dari Pak Ustadz, kalau dia sudah bertemu Pak Haji Affandi. Jawaban dari Pak Haji, dia menanti kedatangan orang tuaku ke rumahnya. Berarti lampu hijau, nih... Satu langkah lagi terlewati....


                                                      BERSAMBUNG                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar